Rabu, 09 April 2008

Tentang Pintu Kita (untuk sahabat)

Abdul Hakim


Ada yang menyeruak sesak

Saat pintu perpisahan

telah dibuka

Dan pintu pertemuan

telah ditutup

Maka sosokmu lenyap

hilang

Yang tersisa hanya

Sebuah lukis imajiner tentang siluetmu

yang kugores pelan

depan pintumu,

pintuku,

pintu kita,

pintu yang pada saatnya juga aku tutup

dan cerita tentangnya akan semakin buram

Sebab,

Kau kan buka pintumu di sana

Ku kan buka pintuku di sini

Semoga,

Pintu hati masih terbuka

Meski pintu yang beri celah buat kita

untuk bertatap akan tertutup rapat

Sebuah pintu berterali,

yang angkuh dan sombong


Yogya, 9 April 2008

Senin, 07 April 2008

Engkau Kabulkan doaku Rabb…

Abdul Hakim

Saat nikmat merasuk kalap

menggiyur beringas tepat depan mata

berkelebat-kelebat membabat tali jiwa dan raga
Dan, tak ada lagi tirani tuk meretasnya menjadi serpihan

yang melenakan sukma

Kau cabut gelegak rasa itu seketika

Kau bungkam dan tampar aku dengan indah

Kini, ku pun semakin paham bahwa Engkau teramat mencinta


Yogya, 7 April 2008

DILEMA HEINZ: Haruskah Membongkar Apotek untuk Mencuri Obat Bagi Istrinya?

Abdul Hakim

Beberapa waktu yang lalu, saya (kami) mendapat tugas indovidu dari dosen Psikologi Perkembangan dan Bimbingan, Ibu Yulia Ariza, M.Si. Tugas kami adalah menganalisis sebuah kisah sebagai sebuah studi kasus. Kisahnya singkat , tetapi sangat menarik. Buat Anda yang ingin beropini, silakan tulis di kolom komentar di bawah tulisan ini. Berikut ini kisahnya.

Kisah

Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. la membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut.

Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia hanya memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. la berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau nnemperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Akan tetapi, si apoteker mengatakan: "Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari uang dari obat itu." Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.

Petanyaannya?

Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?

Jawaban Analisis:

Andaikan hidup berjalan lurus seperti yang kita mau, tentu kenyataan pahit tidak akan menghampiri. Andaikan hidup memberikan kepastian absolut bahwa kita selalu mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk memilah dan memilih segala sesuatu seperti yang kita ingin atau butuhkan, tentu tak akan muncul dilema dalam kehidupan kita.

Dilema yang sedang dihadapi Heinz tentu bukan sebuah pilihan, ia adalah sebuah kenyataan ironis. Akan tetapi, hidup adalah sebuah pilihan. Oleh karena itu, sebenarnya problem dan berbagai dilema yang terjadi adalah bagian dari konsekuensi kehidupan yang telah kita pilih dan jalani. Artinya, apapun yang ada di depan kita, suka atu tidak, bahagia atau tidak, mau tidak mau harus kita hadapi dan rasakan sebagai kenyataan hidup. Dan, dalam rangka memanusiakan diri, maka kita harus berusaha sebaik dan sebijak mungkin dalam menentukan langkah maupun sikap hidup. Meskipun ternyata tidaklah mudah mengaplikasikan konsep kehidupan yang dimaksud.

Menurut saya, dilema yang sedang dihadapi Heinz sangat berat. Tentu tidak mudah mencari solusi alternatif saat kita ada dalam ketersudutan yang simalakama (:bagai makan buah simalakama). Dimakan atau tidak, sama-sama berisiko. Ketersudutan karena posisi dan waktu yang membatasi seringkali membuat kita menjadi panik dan akhirnya berada pada jalan buntu yang membuat kita kurang atau tidak tepat dalam membuat keputusan.

“Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?”

1. Logika Sesaat “yang Hebat!”
Logika sesaat yang melintas ketika pertanyaan itu dilontarkan dengan latar kondisi seperti yang disebutkan dalam kisah di atas: bahwa seolah-olah inisiatif membongkar dan mencuri tersebut adalah sebagai kunci terakhir, maka analisis dan jawabannya adalah sebagai berikut.

Kondisi:
1. Istri sekarat, tidak ada obat: karena “sekarat” kemungkinan terbesar mati
2. Suami berusaha, tidak ada solusi terbaik dan segera: sama dengan menyaksikan

kematian
di depan mata.

Alternatif (analisis) langkah dan keputusan:
1. Tidak mencuri, tidak mendapat obat, kemungkinan terbesar mati: kehilangan.
Hidup menjadi adalah kemungkinan kecil ( ???....)
2. Mencuri, mendapat obat, kemungkinan hidup lebih besar: bahagia.
Meski selalu ada kemungkinan mati, setidaknya telah berupaya: puas.

K
emungkinan akibat mencuri: dihakimi massa, dipenjara, Istri & keluarga malu, harga diri jatuh, dll.

Keputusan:

Mencuri: istri hidup,
andaipun dipenjara, tetap ada kesempatan untuk bertemu.
Masih ada kemungkinan orang akan mengerti dan berempati dengan apa yang kita lakukan, meskipun tidak mungkin kita menjelaskan satu per satu motif dari sesuatu yang kita kerjakan.

Meski langkah di atas bukanlah pilihan yang tepat karena kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih kompleks pun mungkin akan muncul, tetapi jalan seperti itu (yang saya istilahkan sebagai logika sesaat) bukanlah jalan tertutup bagi sebagaian orang. Memang cenderung (bisa juga agak) bombastis, tetapi bisa dikatakan seperti ini: ketika darah kelaki-lakian seorang suami menuntut sebuah pengorbanan bagi orang-orang (:istri) yang dicintainya, apapun akan bisa dilakukan (jangan digeneralisasi untuk semua hal, sesuatu yang hedonis tidak masuk dalam kriteria ini). Terlebih, dalam kasus ini, pilihan untuk mencuri yang melanggar tataran atau prinsip etika-moral universal, bukanlah semata-mata sebuah dorongan internal yang disengaja, lebih karena ruang dan waktu yang dihadapi tak memberi kesempatan untuk berbuat lain. Sekali lagi, tentu ini bukanlah pilihan tepat dan disepakati, tetapi seringkali kondisi eksternal (dalam kasus ini adalah apoteker yang agak keterlaluan kalau tidak bisa dikatakan kurang ajar) menstimulus dan menyeret kita ke dalam keterpaksaan yang tidak beretika. Akan tetapi, sebagai sebuah contoh elemen lain yang hidup dalam masyarakat, apakah moral-etika sang apoteker juga tidak layak dipertanyakan? Dan, dalam hidup ini “apoteker-apoteker” seperti itu semakin menjejali. Berdasarkan fenomena seperti itu, maka perbincangan tentang siapa yang bermoral dan tidak, tidak bisa lagi dibahas secara hitam putih, “yang dicuri dan mencuri, yang diperdayai dan memperdayai, yang berpendidikan dan tidak” dan lain-lain. Akhirnya, mencuri menjadi altrenatif solusi meskipun tentu tidak disepakati.

2. Tindakan Bijak (?)

Langkah-langkah yang lebih bijaksana untuk membuat keputusan terbaik bisa kita runut secara satu per satu. Sebab, kalau tidak begitu, kita tidak akan menemukan cela-celah untuk meretas permaslahan.

Dalam kisah Heinz, ada beberapa kunci yang harus kita pegang. Meskipun, kunci-kunci yang kita buat, belum tentu semuanya tepat karena terkadang tidak tepat sasaran, tetapi membuat kunci adalah langkah awal yang harus dilakukan untuk membuka tabir masalah.

a. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Tentang hal itu, bukankah apa yang dikatakan oleh dokter bukanlah kebenaran mutlak? Untuk memastikannya, apakah Heinz sudah merujuk ke dokter lainnya. Dalam banyak kasus, sering terjadi perbedan pada cara mendeteksi, menamai, dan menyikapi sebuah kasus. Artinya, Heinz harus memeriksakan istrinya ke tempat lainnya untuk meyakinkan jenis sakit sang istri dan alternatif solusi.

b. Tentang cara mendekati apoteker.

Dalam mendekati dan bernegoisasi dengan seseorang, kita harus menggunakan cara-cara yang komunikatif, empatif, dan efektif. Dalam hidup terkadang (bahkan sering terjadi), seseorang mendapatkan sesuatu bukan karena dia mampu secara materi, tetapi cukup dengan cara-cara yang terbaik.

Komunikatif bisa diartikan sebagai pembicaraan yang jelas dan terarah (sekaligus mengetahui maksud tersembunyi --nonverbal-- yang tidak terkatakan oleh lawan bicara); empatif (berempati dengan kondisi diri sendiri sehingga saat berkomunikasi kita dapat menyampaikan maksud tidak hanya dengan kata-kata, tetapi diperkuat secara nonverbal—tampak dari cara dan air muka kita bahwa kita sangat memrlukan bantuannya; berempati dengan apoteker bahwa benar apa yang ditemukannya adalah sesuatu yang besar dan berharga, tetapi kita menyentuh dari sisi kemanusiannya sekaligus juga memberi alternatif cara meningkatkan citra obat yang ditemukannya kepada masyarakat); dan dikatakan efektif jika kita berbicara sesuai dengan tujuan sekaligus tujuan lawan bicara.

Sebenarnya Heinz telah berusaha meyakinkan apoteker, tetapi masih belum berhasil. Dala kasus ini, Heinz harusnya menawarkan solusi tengah kepada apoteker. Misalnya, dia hanya membayar $ 1000, separuhnya dia membayar jasa dengan cara jika sembuh nanti Heinz bersedia istrinya sebagai sumber testimoni untuk iklan yang mempromosikan obat tersebut. Buat orang yang berpikiran maju, apalagi dalam konteks ini, obat yang ditemukan relatif baru, tentu dia memerlukan publikasi.

c. Pada ending kisah, diceritakan: Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.

Kata kunci ”putus asa” menjadi sesuatu yang tidak berterima untuk memandang sikap Heinz. Sebab, putus asa itu bermakna patah semangat; berhenti sebelum sampai; tidak bertindak maksimal; tidak yakin terhadap kemampuan diri sendiri dan kemampuan yang lebih dasyat dari Sang Maha Pemilik, Sang Pencipta, Tuhana Yang Maha Kuasa.

Seharusnya, Heinz jangan putus asa karena menutup semua celah yang harusnya bisa dimasuki sebagai langkah mencari solusi. Sebaliknya, dengan tetap mempunyai semangat, segala sesutu yang semula dianggap tidak mungkin siapa tahu akan menjadi kenyataan yang mengejutkan (tidak disangka-sangka).

Dari beberapa uraian pada bahasan tindakan bijak di atas, seharusnya Heinz tidak perlu menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya. Ternyata masih ada jalan lain yang belum dicoba yang kemungkinan bisa menjawab persoalan.

Apalagi, meskipun sebagain orang akan berempati dan memaklumi tindakan Heinz, tetap saja aturan-aturan yang bersifat perundangan (resmi, tertulis) maupun norma-norma yang bersifat konvensional (kesepakatan tak tertulis, tetapi disepakati sebagai sebuah peraturan) tidak dapat mentolelir tindakan Heinz.

Satu kekuatan dahsyat yang disebutkan di atas (Tuhan), juga tidak menjadi titik balik bagi Heinz. Padahal, Dia adalah Maha Penentu segalanya. Garis Tuhan mengatakan bahwa kalau kita sudah berusaha dengan maksimal tetapi keberhasilan belum tercapai, itulah yang namanya takdir Tuhan. Dan, untuk yang satu ini, kita tunduk terhadap segala yang menjadi kehendak-Nya. Oleh karena itu, mencuri bukanlah sebuah jalan akhir karena itu bukanlah tindakan bijak, meski ternyata kematian istri Heinz (:istri-itri kita) akhirnya menjadi cerita yang memilukan bagi Heinz dan kita.

Bahwa, ada orang yang kemudian memilih logika sesaat, mungkin kita tidak bisa mencegahnya, termasuk tidak pula mampu menyurutkan empati bagi orang lain kepada Heinz dan ”Heinz Heinz lainnya”. Meskipun logika sesaat seperti pencurian yang dilakukan Heinz tetap tidak disarankan, tetapi Heinz tetaplah seorang pahlawan, setidaknya buat istrinya tercinta.

Bagaimana dengan Anda jika dalam kasus yang sama seperti Heinz?

Apa pula opini Anda tentang sosok apoteker yang merupakan contoh bagi orang-orang lain dengan profesi yang berbeda, tetapi berprilaku kurang lebih sama? (Hakim)

Kamis, 03 April 2008

Foto-Foto Balek Kampung (2)

(1) Kolam renang Hotel Bintang Sintuk
(2) Pelabuhan Lhoktuan





























(3 & 4) Bontang Kuala pada suatu senja

Foto-Foto Balek Kampung (1)




Pertengahan Maret, pas balek kampung (ke Bontang) kusempatkan untuk menemui anak-anak di skul, janjian renang bareng di Sintuk sekalian nganter anakku yang lagi belajar di klub Pesut. Selain itu, juga sempat menghabiskan waktu di salah satu peristirahatan milik ortu muridku, Aini, di Bontang Kuala. Dan, menikmati pelabuhan Lhoktuan di suatu senja bersama istri dan anandaku. Seru..!