Senin, 24 September 2007

Artikel: Seandainya Aku Menjadi.... (Bagian 1)



Kalau kita diminta untuk mendeskripsikan sesuatu secara detil atau membuat opini sekaligus argumentasi tentang sesuatu hal, biasanya memerlukan waktu yang lama, bahkan ada kemungkinan nggak jadi-jadi meski limit waktu telah usai.

Akan tetapi, akan agak berbeda jika kita diminta untuk berandai-andai. Meski tetap melalui proses berpikir, memilah, dan memutuskan ide yang akan diwujudkan dalam sebuah tulisan, tetapi berandai-andai tentu jauh lebih mudah atau simpel. Tema pengandaian bisa menyangkut atau mengacu pada figur seseorang, tokoh, profesi, sampai paada hero dan bintang-bintang animasi atau film sains fiktif serupa Doraemon, Power Rangers, dan lain-lain. Sebagai bukti, hari ini, sedang puasa, di kelas 9D tinggal satu jam pelajaran, daripada melulu belajar dan belajar, sebagai variasi, anak-anak yang saya didik mengerjakan tugas yang saya berikan. Tidak lebih dari tiga puluh menit, karya-karya mereka pun terkumpul. Meski tak dinilai, saya jelaskan kepada mereka, aktivitas mereka adalah sebuah proses kreatif. Sebab, meski mudah, tetap saja setiap orang mempunyai kompetensi atau kelihaian yang berbeda dalam membuat sebuah pengandaian yang bagus, pas, lucu, seru, atau bahkan konyol.

Dan, setelah terkumpul, sambil melenggang dari pintu kelas 9D, saya membaca-baca karya mereka. Langsung saya tersenyum-senyum sendiri. Bu Yudha, guru ekonomi, yang mengajar setelah saya di kelas tersebut, ketika berpapasan langsung berujar, ”Kenapa Pak, kok senyum-senyum sendiri?” Aku yang ditanyai hanya senyum-senyum aja, nyengir berlalu.

Berikut beberapa pengandaian mereka yang siapa tahu juga menggelitik Anda sebagai pembaca.

Seandainya Aku Dewasa

Seandainya nanti saya menjadi dewasa, yang ingin saya lakukan adalah mencari pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Saya duduk di kursi di belakang meja komputer. Gaji saya lumayan besar. Setiap bulan saya akan mengirim uang kepada orang tua saya. Saya bangun sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Lalu, saya mencari seorang gadis yang tidak cantik dan tidak juga jelek. Dia seorang yang rajin, sholehah, dan berbakti. Pada saat itulah saya akan memperkenalkannya kepada kedua orang tua. Kemudian, saya menikah dengannya. Kuinginkan dua orang anak. Anak pertama cowok dan anak kedua cewek. Kami akan mendidik mereka dengan baik hingga dewasa.
Jika hartaku mulai melimpah, kuingin mengajak kedua orang tua dan istriku pergi naik haji. Setelah pulang, aku ingin membangun sekolah, masjid, dan panti asuhan. Yang terpenting juga, aku ingin membahagian kedua orang tuaku. Setelah semuanya beres, hanya satu yang kuinginkan, mati sebelum kedua orang tua, anak, dan istriku.
Nanda Hanafi

Bagi anak seusia mereka, bayangan hidup bahagia dan cenderung mendekati ideal sudah menjadi orientasi di benaknya. Tentu semangat seperti ini diharapkan mampu menjadi spirit yang kuat untuk dapat menjalani hidup yang selalu lebih baik. Di bagian akhir tulisan, saya dikejutkan dengan pernyataan, ” Setelah semuanya beres, hanya satu yang kuinginkan, mati sebelum kedua orang tua, anak, dan istriku”. Lepas dari sekadar berandai-andai semata, buat saya hal tersebut sebuah pemikiran yang tidak umum, nyleneh alias aneh. Akan tetapi, meski dengan pemahaman saya yang sangat individu dan subjektif, saya dapat memaknai: alngkah indahnya, alangkah ringannya, alangkah bahagianya, andai pun kita harus dipanggil oleh Sang Pencipta terlebih dulu, tetapi semua yang kita tinggalkan adalah bangunan kebahagiaan dan keberhasilan duniawi dan ukhrawi buat keluarga dan masyarakat sekitar. Tentu hal itu tidak hanya menjadi catatan bercahaya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Tetapi, kalo boleh memilih, akan lebih indah kalau kita masih banyak waktu untuk menyaksikan kebahagiaan itu, asal semua masih selalu dalam orbit yang digariskan Tuhan, Allah SWT.

Coba, bagaimana dengan yang satu ini?

Seandainya Aku Menjadi Keluarga Cendana

Seandainya aku adalah salah satu keluarga cendana, aku akan mengharumkan nama besar keluarga Cendana, seperti memenangkan lomba tingkat nasional maupun internasional. Tidak seperti keluarga Cendana sekarang. Mereka justeru membuat nama besar keluarga menjadi sangat kecil di mata masyarakat. Sebut saja, Bambang Trihatmodjo yang merusak rumah tangganya dengan menikahi artis Mayangsari. Sekarang keluarganya bersama Halimah hancur berantakan. Keoponakannya, Ari Sigit, juga sama. Seharusnya keluarga Cendana dapat berusaha mempertahankan kehidupan rumah tangganya masing-masing agar menjadi contoh bagi masyarakat.
Nabella Umaya

Masalah sosial yang umumnya (pemikirannya) didominasi orang dewasa, ternyata juga menjadi bagian yang terpotret dalam kehidupan anak usia SMP. Betapa amburadulnya rumah tangga menjadi sesuatu yang dinilai berdampak buruk tidak hanya buat keluarga (dalam satu ikatan rumah). Akan tetapi, juga menjadi racun yang siap mematikan bagi karakter sebuah keluarga besar, bahkan sekelas Keluarga Cendana. Secara implisit, pasti, penulis tidak menginginkan hal serupa akan terjadi pada keluarga besarnya atau mungkin pada keluarga yang dibangunnya kelak. Ternyata, seiring dengan gizi yang semakin baik, pengkritisan terhadap suatu masalah pun semakin meningkat. Kadang, diluar yang kita pikirkan.

Buat kamu yang suka berandai-andai, silakan tulis di kolom komentar berikut! Atau mo komen terhadap tulisan ini juga boleh.
Bersambung ke bagian 2

gambar by hakim untuk ananda yang selalu berandai-andai menjadi Power Rangers

Tidak ada komentar: