Rabu, 30 Januari 2008

29 Januari

Abdul Hakim

Ini hari kita
Delapan tahun yang lalu
Ini hari kita
Saat puluhan pasang mata
tertuju kepada kita
Ini hari kita
Saat berpasang-pasang telinga khidmat
mendengar ikrar yang tertumpah
Ini hari kita
Saat hasrat menyatu
dalam ikatan sakral nan syahdu
Ini hari kita
Kebahagiaan disaksikan senyum lucu
bocah kecil yang kini menguasai hati
Semoga bintang, bulan, dan matahari
tak redup sepanjang perjalanan kita

Bontang, 29 Januari 2008

Rabu, 23 Januari 2008

Sudut

Oleh Abdul Hakim

Di sudut temaram
Aku tersudut
Meratap
Sebab, kutemui sudut-sudut hidup
yang pekat
Ingin kutatap sudut baru
agar horison pandangku tak lagi samar
Sudut-sudut yang memungkinkanku
melihat celah baru akan sudut-sudut lainnya
Sudut-sudut yang kan kurangkai menjadi ruang
yang lebih bermakna,
lebih indah!

Bontang, 23 Januari 2008

Selasa, 15 Januari 2008

Kreativitas Guru dalam Pembelajaran

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman dua eksemplar buku dari Depdiknas, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Direktoran Profesi Pendidik.
Ternyata buku tersebut merupakan bunga rampai hasil karya Lomba Keberhasilan Guru (LKG) dalam Pembelajaran Tingkat Nasional tahun 2006 untuk satuan pendidikan TK, SD, dan SMP. Untuk karya satuan pendidikan SMA, SMK, dan PLB termuat dalam bunga rampai tersendiri. Sebenarnya, buku tersebut sudah terbit pertengahan tahun 2007 (cetakan kesatunya pada Juni 2007), tapi baru didistribusikan dan sampai kepada kami awal 2008. Buku tersebut berjudul Kreativias Guru dalam Pembelajaran: Karya Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2006 untuk Satuan Pendidikan TK, SD, dan SMP.

Tahun 2006, LKG diikuti oleh 1.481 guru. Berdasarkan hasil seleksi administratif dan subtantif, terpilih 120 karya finalis. Setelah dilakukan penilaian terhadap finalis meliputi tiga aspek, yaitu orisinalitas, kreativitas, dan inovasi yang dihasilkan, dan kebermanfaatan yang tinggi terhadap peningkatan kualitas pembelajaran, ditetapkan 24 guru sebagai pemenang lomba. Hasil karya para pemenag inilah yang kemudian disusun menjadi artikel ilmiah (semula karya ilmiah minimal 20 halaman) untuk keperluan publikasi dalam bentuk bunga rampai.

Alhamdulillah, salah satu tulisan yang ada dalam buku tersebut adalah karya saya yang berjudul “Pemanfaatan Iklan Televisi sebagai Media Pembelajaran Menulis Kreatif Puisi Siswa Kelas IX SMP Yayasan Pupuk Kaltim Bontang”. Tentang isi buku tersebut, nanti akan saya buatkan tulisan tersendiri dalam bentuk resensi.

Sabtu, 12 Januari 2008

Peringatan 1 Muharram Bersama Meidiana Hutomo & Ustadzah Sri Endang

Gegap gempita tahun baru Hijriah mestinya tak kalah seru dengan penyambutan tahun baru Masehi atau Imlek. Terlebih, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Alhamdulillah, beberapa tahun terakhir penyambutan tahun baru Hijriah semakin meriah dan marak. Mulai dari kegiatan pawai taaruf, renungan, pengajian, talkshow, dan lain-lain. Sebagai muslim, kita harus dapat mengambil hikmah dari tahun baru Hijriah.

Dalam rangka tahun baru 1429 H, SMP Yayasan Pupuk Kaltim berkat kerjasama dengan Majlis Taklim Muslimah Baiturrahman menyelenggarakan kegiatan talkshow. Acara yang digelar pada Sabtu, 12 Januari 2008, mulai pukul 18.00-21.30 itu berlangsung meriah. Diawali dengan sholat maghrib berjamaah, asmaul khusna, tampilan lagu-lagu Islami dari para juara nasyid, acara ditutup dengan talkshow bersama Ustadzah Sri Endang dan artis Meidiana Hutomo. Masalah moral dan spirit remaja agar dapat berbuat dan berkarya terbaik diusung dalam kegiatan tersebut. Setelah tanya jawab dan foto bersama, acara yang dipandu Rina Syarifah, Trully Tisna, dan saya (Abdul Hakim), ditutup.

Oh ya, tentang artis Meidiana Hutomo, anak saya menjadi bersemangat ingin bertemu. Pasalnya, mamanya sering nonton sinetron Cinta Fitri. Anakku suka ikut-ikutan menontonnya. Kebetulan alur ceritanya bagus, bahkan pernah mendapat pujian secara khusus dari Bapak Habibie dan Ibu Ainun. Dalam sinetron tersebut, Meidiana berperan sebagai Bulek Fitri. Tentu, anak saya sangat familiar karena sering menontonnya. Makanya, sewaktu saya beri tahu bahwa dia akan datang, anak saya langsung bertanya, "Fitri ikut nggak?" Menjelang akhir acara, dia duduk manis dekat panggung karena saya bilang nanti kalau sudah selesai bakal foto bersama sama Bulek Fitri.

Acara tesebut sukses berkat kerja yang kompak dari pengurus OSIS SMP YPK periode 2007-2008. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Majlis Taklim Muslimah Baiturrahman, Ustadzah Sri Endang, Mbak Meidiana Hutomo, Komite SMP YPK, YPK, serta manajemen PT Pupuk Kaltim.

Semoga sprit 1 Muharram dapat mengantar kita untuk lebih baik lagi dalam beribadah, belajar, dan berkarya, amin!

Senin, 07 Januari 2008

Antologi Puisi "Episode Resah"

Model: Savero & Vidya, Wakil 1 Duwis Bontang 2007/2008, G-Entertainment, Photos by Badax
JENUH
(untuk s’gala keanehan yang ingin kurengkuh)
Abdul Hakim

Aku jenuh dengan segala resah yang membungkam
Aku jenuh dengan segala gundah yang kian menyesak
Aku jenuh, semakin jenuh, dengan gejolak yang kian kembara
Mencencang jiwa
Memberangus bahagia
Aku jenuh…
Teramat jenuh….
Bayang samar itu semakin nyata
Meski kusadar, bukankah mestinya ku tak harus rengkuhnya

Dalam segenap sadarku
Atau dalam linglungku
Atau ketika dalam himpitan yang tak menentu
Ku ingin rengkuhmu
Ku ingin raihmu
Ku ingin ikatmu kuat-kuat di sini
Di sayapku

Lelah kembaraku
Lelah aku harus bertanya dan menjawabnya sendiri
Lelah aku hadapi pilihan yang harusnya aku tak inginkannya untuk memilih

Jenuhku semakin sekarat
Mendepakku ke terjalnya logika
Melukaiku hingga semakin parah
Berdarah-darah
Merah kehitaman…
Merah kehitaman…

Dalam s’tiap detikku
Kini, dan entah sampai kapan, aku merindu
Aku mengharap
Aku ingin bersinergi dengan sendu tatapmu
Lembutmu
Dan s’gala rasa yang tak mampu terdeskripsikan olehku
Atasmu
Gundahku semakin melenguh
Sedang hadirmu kurasa semakin jauh
Meski rinduku semakin menderu
Inginku,
Kau di sini, bergelayut manja tanpa keluh
Sandarakan kepala sambil bercerita
Tentang apa saja
Yang penting, ku dapat tatapmu lebih dekat.
Menyentuhmu lebih erat!

Bontang, 30 Mei 2007


MENGURAI JENUH
(untuk keindahan yang tercipta)
Abdul Hakim

Berjalan menyusuri waktu
Di antara resah yang menggelayut

Menelusup bahagia di sini,
Di kedalaman hati
Ada yang berdesir indah tatkala pesonamu menyentuhku
Tatkala dengan dekat dapat kurasa hela nafasmu

Hari ini,
Dengan segenap keberanian yang meragu
Kusentuhkan hasratku atasmu
Kuluapkan resah emosiku
Kubukakan tabir rindu yang mengganggu

Sesaat jenuhku memudar
Terserak menjadi pecahan getar tak terdefinisi
Tapi,
Ia menjalar indah
Merasuk jiwa
Mengurai kebekuan di titik kulminasi
Meledakkan gemuruh yang mengguncang
Syahdu

Hari ini, jenuhku meleleh sudah
Menjadi bulir bening yang kan meresap sejuk
Di sini
Di dada
Di jiwa
Tapi…,
Mengapa tiba-tiba resah bersenandung lirih
Mencoba meremas, bahkan mencengkeram keindahan ini

Dan, senandung itu kini kian melengking
Akankah kejenuhan yang terurai segera kunjung padam?

Jangan!
Sebab, kuinginkan ia kembara selamanya
Mengisi ruang
Dan waktuku
Abadi

Bontang, 30-31 Mei 2007


EPISODE RESAH
(untuk gundah yang menyelubung)
Abdul Hakim

Di hari lalu,
Telah kuungkap semua tentang
Tabir yang harusnya tak kusingkap
Isi yang harusnya tak kunikmati
Pesona yang harusnya tak kunodai

Kini, pada setiap hela hidupku
Kurasa,,
Nyanyian resah semakin menggema
Sebab, ku teramat paham
Bahwa aku telah keliru menggores kanvasmu
Dengan warna buram

Di hari ini,
Meski tak segan harus kuungkap maaf
Tapi, jujurku, tak ingin ku lepas bahagia itu
Meski, sekali lagi, goresku akanmu
Ternyata semakin absurd

Bontang, 31Mei 2007


ANDAI KASVAS DAN LUKISKU ADALAH SEBUAH KEBENARAN
(untuk lukisan yang kusadar tak mungkin pernah selesai)
Abdul Hakim

Ku sadar,
Bahwa energi yang menyentak adalah sebuah kesalahan

Ku sadar,
Menyentuhmu adalah kegelisahan yang menentramkan

Ku sadar,
Ada nyanyian indah yang juga tengah kau nikmati
Tapi…,
Sekali lagi, ku sadar,
Ini adalah sebuah kekeliruan

Andai kanvasmu adalah pilihan kebenaran
Kan kulukis engkau dengan
Warna-warni pelangi

Warna-warni yang membuatmu menggelayut erat di pundakku
Tuk arungi kedalaman perasaan
Dengan cinta dan kasih
Yang menentramkan

Bontang, 31 Mei 2007


LUKA
(elegi untuk setiap putaran waktu yang mengiris)
Abdul Hakim

Gelisahku semakin membungkam
Pojokkanku, terdiam
Kibas aku dalam kelam
Lumat aku dalam kesendirian
Remukkanku hingga menjadi serpihan
Tangsiku tertahan
Mengkhristal beku, menyakitkan

Bontang, 31 Mei 2007


MENGURAI LARA
(untuk kejernihan hati)
Abdul Hakim

Kucoba terjemahkan setiap lara
Ku urai ia dan kubingkai menjadi kristal berharga
Ku yakin,
Dalam setiap kedalaman kontemplasi
Akan lahir keindahan yang safir
Meski, ia lahir dari luka yang mengiris

Bontang, 31 Mei 2007


SILANG MERAH
(untuk komitmen yang berubah)
Abdul Hakim

Kuambil corak merah
Pekat dan padat
Kusilangkan ia dengan lenguh nafas berat
Dengan tekanan yang menghujam

Dan,
Aku berkata dengan bergetar:
“Enyahlah engkau dari hidupku!”

Selang tak lama,
Aku mulai meragu,
“Apakah silang merah itu sekadar tanda?
Tak punyakah makna?.
Tapi, bukankah aku menginginkannya?”

Otakku menjawab:
“Silang merah itu tidak tegas!
Tidak lurus!”

Bontang, 31 Mei 2007


KEMBARA
(untuk kepak kecil yang tetap ingin melesat lepas)
Abdul Hakim

Akhirnya,
Aku tetap kompromi dengan rasa yang menyulut

Hari kemarin,
Hari ini,
Dan hari esok

Biarlah semua tetap kembara bebas
Biar waktu yang membuat keputusannya sendiri
Sampai suatu saat
Hati akan tertawa menyeringai
Atau lunglai dalam balutan bilur kelam tak termaknai

Bontang, 31 Mei 2007


AKU KANGEN
(untuk kerinduan yang terus mengganggu)
Abdul Hakim

Hari lalu,
Hari ini,
Bahkan, ku yakin hari esok dan seterusnya,
Rindu ini akan tetap biru
Berarak tak putus
Menyiksa
Mendera
Melukaiku

Aku rindu,
Rindu akan hari itu
Tatkala ruang dan waktu tak membatasi

Aku rindu,
Aku rindukanmu!

Bontang, 31 Mei 2007


LUKISMU
(untuk senandung wajah polos nan damai)
Abdul Hakim

Meski tak nyata di sini
Tapi, setiap lekukmu t’lah terlukis sempurna
Senyuman itu,
Tatap lembut itu,
Gelayut manja itu,
Semakin sempurnakan lukisku akanmu
Kini, ia telah terbingkai indah
Di sabana pengharapan
Yang tak juga pupus
Meski terjal tantangan keras menghadang

Bontang, 31 Mei 2007


AKHIRNYA KUDENGAR LAGI
(untuk lembut suara dan manja tawa yang kunanti)
Abdul Hakim

Tentang gelisah dan resah yang kemarin menyesak,
Hari ini terjawab indah
Derai tawamu hapus duka,
Aku tersenyum bahagia
Ada yang merasuk tiba-tiba:
Bahagia

Bontang, 31 Mei 2007


ENGKAU BILANG ESOK PERGI
(ketika ingin tak sampai)
Abdul Hakim

Cerita indah yang esok kau rengkuh
Sisakan lara
T’lah terbayang di mata
Kau berlari kecil
Tertawa bahagia
Saling tatap
…………..
…………….
.
Titik! Dengan tanda seru!

Bontang, 31 Mei-1 Juni 2007


AKHIRNYA KUTULIS SEBUAH KEPUTUSAN
(untuk pengharapan yang absurd)
Abdul Hakim

Hari ini kugores kuat-kuat di sini,
Dalam hati,
Kupatri dalam pikiran,
Bahwa tak ada lagi basa-basi yang harus kuungkap atasmu
Bosan!
Membosankan!
Kucoba beri waktu,
Ku yakin kau akan mengejarku
Saat itulah aku akan mentertawakanmu
Meski itu adalah pengharapanku
Selamat tinggal??
(masih juga tanya yang meragu)

Bontang, 1 Juni 2007


AKHIRNYA KU DIAM
(untuk kebisuanmu)
Abdul Hakim

Kugores kuat-kuat
Ku kan diam
Ku kan bungkam
Sampai kau pun berujar

Bontang, 7 Juni 2007


DAN BENAR, KAU PUN TAK TAHAN
(untuk rindumu)
Abdul Hakim

Dalam gusarku yang meradang
Sesak rindumu menerjang
Kau pun datang
Luapkan emosi yang tertahan
Dan…, aku pun tertawa menang

Bontang, 8 Januari 2008

Tentang Bulir Bening Nandaku

Oleh A. Hakim

Nanda,
Sore jelang maghrib hari ini
kuajak engkau bercengkerama
Kuajak engkau bercerita
Kebuat engkau tertawa,
terkekeh, dan tergelak di lenganku
pada pembaringan yang dulu kubeli sehari
sebelum engkau dilahirkan ibumu

Nandaku,
Untuk yang kesekian kali
Aku mencoba pamit padamu
karena untuk beberapa lama aku akan pergi tinggalkanmu
Kuberi janji-janji indah agar engkau ikhlas
Agar engkau tak sesenggukan lagi
Agar engkau tak lagi gulirkan tangismu
Tapi, semua tak mampu halau resahmu
Tetap, satu keputusanmu, "Tidak! Papa tidak boleh pergi!"
Suara tangismu semakin meledak
Parau menyesak
Kudiamkan engkau dengan bujukku
Tapi, tangsimu semakin pilu
"Nanti kalau sekolah aku dijemput siapa.....?
Nanti kalau mama marah gimana?" Dan, tangismu belumlah usai
"Aku nggak mau...Aku ikut papa..."
........................................
.................................
........................
Rajukmu pojokkanku
Rangkulmu membuatku gerimis
Pelukku coba berimu ketenangan
Dan, engkau pun terdiam, meski bulir bening itu
masih sembabkan matamu
Ketatap wajahmu dalam-dalam
Ku kan tetap di sini
Ku kan tetap dekapmu
Iringi setiap detik milikmu
Dampingi setiap langkah-langkah kecilmu
agar tak terluka sayap mungilmu

Bontang, 7 Januari 2008

Minggu, 06 Januari 2008

Batas Waktu Menunggu


Oleh: Abdul Hakim, S.Pd.


Semacam pengantar. Ini cerpen lama. Suatu saat (November 2007) pernah dibahas anak-anak di sekolah ketika materi analisis unsur intrinsik karya sastra. Sesekali, untuk seru-seruan sih, karya-karya yang dijadikan contoh atau dibahas adalah karya-karya saya, baik itu artikel, cerpen, puisi, mini film, atau hal lainnya. Selain itu, untuk memberi semangat juga bahwa guru yang sedang memberi pelajaran kepada mereka, meski belum mahir dan produktif, juga terus belajar berkarya. Dari pengalaman saya selama ini, lumayan seru juga karena konteks pembelajaran lebih dekat sengan mereka. Tidak selalu contoh-contoh yan tertera di buku atau kliping dari koran dan majalah. Sewaktu para siswa membaca cerpen ini, mereka sudah mulai kasak-kusuk, bisik-bisik, tersenyum-senyum kecil, sampai pada pertanyaan dan seloroh spontan, "Ini Bapak kan....? Iya kan...?" Saya hanya tersenyum. "Sudah, baca aja sampai selesai," pinta saya. "Pak..., ini bener Bapak kan...?" tanya beberapa anak dengan gemas. "Bukan, bukan saya. Ini kan hanya cerpen. Fiktif!" jawab saya tetap sambil senyum-senyum. "Ayo dikerjakan, tar waktunya habis lo..!" ujar saya lagi agar mereka kembali konsentrasi ke tugasnya. Ternyata, tanya mereka tak juga habis. Saat istirahat, besoknya, besoknya lagi, masih juga ada yang bertanya. Mereka penasaran. Saya jadi geli sendiri. Mereka sedang mencari "tersangka" dari tokoh yang dikenalinya lewat cerpen. Tapi, tetap, saya bilang itu bukan saya. Salah satu penjelasan yang logis adalah tentang keberadaan anak saya yang sekarang jelang tujuh tahun. Sementara konteks cerita akhir 2005-an si tokoh dalam cerpen baru married. Tapi, tetap aja ada yang bilang, "Alah......, bohong.......Bener, itu pasti Pak Hakim, kok! Nggak usah bohong, Pak...". Dan, saya hanya tersenyum-senyum lagi. Abisnya, dijelasin juga nggak percaya. Akhirnya, mereka semakin penasaran.

Cerpen ini dimuat (dua bagian) di Kaltim Post pada 21 dan 28 Mei 2006. Selamat membaca!

Namaku Dimas. Lengkapnya, Dimas Prasetya. Usiaku 27 tahun. Masih belum berkeluarga, bahkan masih jomblo. Seorang guru di sebuah yayasan terkenal. Kata teman-teman sesama guru, wajahku baby face, muda dan ganteng, masih layak memakai seragam putih abu-abu. Akan tetapi, mengapa aku tak kunjung memiliki pendamping hidup, atau minimal terlihat menggandeng seorang pacar. Aku hanya tersenyum-senyum saja jika mereka mengatakan hal itu.
Sepucuk surat mengagetkanku. Terselip di bawah buku, di atas meja kantorku. Setelah kutahu pengirimnya, aku mulai menerka-nerka apa isinya. Aku terhenyak tatkala kubaca bagian akhir surat itu, “Hanim menyayangi dan… Bapak”.
Surat itu ditulis Hanim, muridku kelas 3 di SMP tempatku mengajar. Hanim adalah sosok murid yang pintar. Bahkan, salah satu dari 3 siswa terpintar di kelas 3. Selain itu, dia tidak bertingkah seperti beberapa murid yang orang tuanya mempunyai jabatan penting di perusahaan yang menaungi yayasan atau sekolah kami.
Ketika kutunjukkan kepada Pak Lukman, teman sejawat sekaligus teman dekatku, kami membaca sambil terkekeh. Bagimana tidak, kami tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi. Meskipun, setiap hari Hanim menelepon ke rumah kontrakanku, dengan alasan utama berkonsultasi materi yang kuajarkan, dari nada bicaranya yang cenderung masih polos, aku dengan mudah menerka apa yang sebenarnya dimaui, yaitu perhatian lebih, tetap saja pernyataan dalam surat itu membuatku kaget.
Tiga hari setelah itu, saya bercerita tentang Hanim yang beberapa hari berikutnya selalu menanyakan apa jawabanku. Tiba-tiba kami, aku dan Pak Lukman, temanku yang juga masih bujang itu, membuat keputusan yang aneh kalau tidak bisa dikatakan konyol. Dengan dasar UAN (waktu itu Ebtanas) sudah sangat dekat, maka saya menerima cintanya. Sebuah pertimbangan yang serius tapi sederhana.
Seriusnya, dengan melihat keseriusan dia, saya takut andai ternyata aku membuat keputusan yang sebaliknya, maka akan membuatnya down dan merasa malu yang hebat. Ujung-ujungnya, saya khawatir kalau akan mempengaruhi hasil Ebtanasnya.
Sederhananya, Hanim itu masih anak-anak. Seperti yang saya pikirkan dengan Pak Lukman, secara kejiwaan atau pola pikir, seperti umumnya anak-anak seusianya, tentulah masih labil. Termasuk tentang pilihan yang belum lama ini dijatuhkan kepadaku. Pilihan yang menurutku hanyalah pilihan sesaat, cinta monyet, segera berubah dan hilang jika tertumpuk oleh pilihan-pilihan lainnya. Peristiwa itu kuanggap berlalu, tak perlu dipikirkan lagi.
“Pak, aku minta privat. Ebtanas sudah dekat,” katanya pada suatu malam, melalui telepon.
“Kan udah pintar!” godaku sambil tersenyum.
“Ehm…!” Kudengar suranya merajuk.
“Emang perlu?” tanyaku lagi.
“Ya, iyalah. Aku ingin menjadi yang terbaik!” ungkapnya semangat.
Begitulah, percakapan kami, semakin hari semakin sangat cair. Semakin hilang pembatas sebagai guru dan seorang murid. Gilanya, semakin hari rasanya aku semakin merasa nyaman berkomunikasi dengannya. Tetapi, yang membuat tidak nyaman adalah kalau sedang mengajar di kelasnya.
Akhirnya, seminggu dua kali aku mengajar privat di rumahnya. Salah satunya, hari Sabtu malam minggu, hari yang dipilihnya. Aku sih asyik-asyik saja, maklum karena tidak mempunyai gadis spesial selain kedekatanku dengan Hanim. Kulihat, Hanim selalu tampak ceria setiap kali aku datang. Mamanya juga menyambutku dengan hangat. Tentang ayahnya, dapat dihitung dengan jari aku bertemu dengannya. Itupun hanya saling sapa aja. Dia lebih banyak pergi dinas ke kantor pusat perusahaannya di Jakarta.
Juni 1999
Hebat! Hanim lulus dengan prestasi yang sangat bagus. Meskipun hanya menempati peringkat kedua di sekolah, tetapi dia tetap masuk sepuluh terbaik di tingkat provinsi. Kuberikan ucapan selamat saat sorenya dia meneleponku.
“Makasih!” ucapnya girang. “Itu juga berkat bimbingan Bapak. Tapi...”
“Kenapa?”
“Berarti tidak lama lagi aku harus pindah ke Bandung. Papa dan mama sangat berharap agar aku diterima di SMA 3”.
“Ya, baguslah. Itu sekolah favoritnya anak-anak pintar,” dukungku.
“Tapi, aku jadi ninggalin Bapak dong”.
“Ya, tidak apa-apalah. Setiap liburan kamu kan bisa pulang ke sini. Atau, saat saya cuti ke Jawa, kan bisa bertemu”.
Kudengar dia menangis. Aku merasa lucu juga, mengapa kami seperti sedang berpacaran begini. Padahal, tujuannya dulu kan sekadar menyelamatkan Ebtanas, bukankah itu sudah berhasil?
Juli 1999
Hanim mengadakan perpisahan dengan sahabat-sahabatnya dan beberapa guru, tentu termasuk aku. Acara yang diadakan malam hari di restoran apung, restoran yang didirikan dia atas laut itu, juga diikuti kedua orang tuanya. Di ujung acara, ketika menyampaikan sambutan perpisahan, dia terisak.
Esoknya, dia berangkat menuju kota kembang. Tentu saja dia ingin aku ikut mengantarnya ke bandara. Tetapi, aku merasa risih dengan orang tuanya. Toh, semalam sehabis acara, dia sudah meneleponku berjam-jam.
Agustus 1999
“Aku ingin pulang. Aku ingin sekolah di sana aja!” katanya menyentakku.
“Lo, jangan! Biasa kok, pertama-tama hampir semua orang yang berdomisili di tempat yang baru akan merasa tidak nyaman. Tetapi, semua akan berlalu seiring proses adaptasi. Dulu, sewaktu saya pertama menginjakkan kaki di Kalimantan, rasanya pengen segera balek ke Malang. Tapi, ternyata lama-lama kerasan juga kan?” jelasku meyakinkan.
“Nggak, pokoknya aku harus pindah. SMA di yayasan kita kan top juga. Aku sudah bilang mama, kok!”
“Lalu?”
Duh.., keras kepala juga anak ini! Dia mengatakan tidak bisa jauh dariku. Konyol juga. Padahal, meski tak menyangkal bahwa aku juga memikirkannya, tetapi aku memprediksi kalau suasana, tempat, dan teman-teman baru akan segera membuatnya berubah dan menemukan pilihan lain. Kemudian Hanim akan melupakanku, meski jujur barangkali aku tak berharap itu terjadi. Sekali lagi, sebuah pearasaan yang aku anggap masih aneh.
September 1999
Keputusan sudah bulat. Akhirnya, Hanim pindah ke SMA di yayasan tempatku mengajar. Aku tidak tahu, merasa bahagia atau apa. Yang pasti, ada yang menjalar damai di hatiku. Atas kepindahan itu, teman-teman sejawatku menggoda. Aku diam tak berkomentar, hanya senyum-senyum saja.
Hari-hari berikutnya, privat pun berjalan seperti waktu SMP dulu. Saat-saat itulah kebahagiaan seperti orang yang sedang berpacaran terasa. Tetapi, aku tetap menjaga semuanya. Bagaimanapun, aku seorang guru. Walaupun ibunya mengerti tentang semua ini, termasuk tentang alasan kepindahan anaknya.
Hal serupa berjalan terus-menerus. Sampai kemudian dia naik ke kelas dua dan tiga.
Menjelang kelulusan, keresahan yang dulu pernah terjadi, terulang kembali. Hanim bimbang.
“Untuk kali ini, tidak ada pilihan lain. Hanim harus pindah kuliah di PTN favorit di Jawa,” tegasku.
“Tapi…”
“Semua akan berjalan baik-baik saja. Malah, mungkin nanti kamu akan menemukan pilihan-pilihan baru yang lebih keren, pinter, dan tajir,” godaku.
“Nggak mau! Emang aku matre. Bapak harus janji akan menjaga semuanya seperti sekarang!” Ups! Aku tidak yakin dia tidak tergoyah oleh suasana baru. Walaupun dalam tiga tahun ini aku tahu keseriusannya mempertahankan pilihannya atasku.
“Pokoknya, Bapak harus janji akan menunggu saya lulus!” pintanya serius. Aku hanya mampu berucap ‘ya’ untuk menenangkannya.
Agustus 2002
Perpisahan tak terelakkan! Tangis pun kembali meledak. Kali ini, perasaan sedih juga sangat terasa menyesak dadaku. Tiga tahun tentu bukan waktu yang pendek. Jujur atau tidak, aku mulai terikat.
Hanim diterima di jurusan Kedokteran Umum di Unair Surabaya. Berita itu membuat sudut lain hatiku berujar, “Akan berapa lama aku menunggunya. Bukankah usiaku terus berjalan?”
September 2002
Kini usiaku menginjak 30 tahun. Usia yang sudah cukup matang dan mapan untuk berkeluarga. Memang belum berlebih, tetapi aku merasa tabunganku sudah cukup untuk hal itu.
Teman-teman seangkatanku sebagian besar telah menikah. Bahkan, rata-rata mereka telah mempunyai momongan, termasuk Pak Lukman. Padahal, usianya setahun lebih mudah dariku.
Akan tetapi, aku masih tetap bertahan pada satu keyakinan untuk menunggu tanpa batas waktu yang jelas. Tak jarang keraguan menyergap. Kuhitung-hitung, jika Hanim dapat menyelesaikan kuliah dalam waktu lima tahun, saat itu usiaku akan memasuki 35 tahun. Jika selesai dalam tempo enam tahun? Tentu 36 tahun bukanlah usia yang muda.
Sebuah dilema. Padahal, aku sadar jika nanti tiba-tiba Hanim berubah pikiran dan komitmen, maka penantianku hanyalah kesia-siaan. Akan tetapi, Hanim selalu membuatku yakin. Baik melalui telepon, SMS, email, atau saat bertemu, yaitu saat dia berlibur atau aku yang cuti ke Jawa, dia selalu mengatakan akan memegang komitmennya.
Mei 2005
Sebuah perjalanan panjang. Hubungan kami memasuki tahun keenam. Usiaku menginjak 33 tahun. Keraguan semakin menyergap. Meski terus berlanjut, tetapi kurasakan akhir-akhir ini komunikasi kami tak lagi seperti biasa. Salah satu alasan yang dapat kuterima, katanya dia semakin disibukkan dengan berbagai praktikum.
Bahkan, pada Juni 2005 nanti dia berencana tidak berlibur. Katanya lagi, ada tugas yang harus diselesaikan. Untungnya, aku berencana cuti ke Malang. Jadi, aku dapat menemuinya di Surabaya.
Juni 2005
Sebuah pertemuan yang berbeda. Dari cara dia menyambutku, berbicara, dan menatapku, aku merasa ada banyak hal yang berubah.
“Kalau Bapak bertanya tentang komitmen, terus terang saat ini aku tidak bisa menjawab. Aku belum tahu pasti berapa lama lagi aku lulus S1. Terlebih, papa minta aku mengambil spesialis,” ujarnya. Tak kutemukan akspresi penuh seperti dulu, ekspresi yang selama ini membuatku bertahan.
“Kenapa baru sekarang. Bukankah kemungkinan itu sudah pernah kita bahas. Bukankah kamu pula yang mengatakan, andai nanti ambil spesialis tentu sehabis menikah,” ingatku.
“Proses hidup terus berubah,” jawabnya sesaat setelah berpikir. “Aku tidak menginginkannya karena aku juga tak memahami sebelumnya. Tetapi, nyatanya ya seperti sekarang ini. Aku takut, jika aku berkomitmen lebih, nanti aku tak dapat menepatinya,” ujarnya mencoba berfalsafah, tapi kudengar aneh. Pernyataan yang tak memuaskanku. “Kau bukan Hanim yang dulu,” pikirku dalam hati.
“Artinya?” tanyaku meski sebenarnya sudah jelas. Hanim hanya terdiam.
Juli 2005
Aku telah kembali bekerja. SMS Hanim tadi malam semakin meyakinkanku akan komitmen yang berubah. Tak ada bahasa verbal melalui ucapan, tak ada kata-kata jelas dan konkret tentang sebuah keputusan. Akan tetapi, aku teramat dewasa untuk menerjemahkannya bahwa dia tidak menginginkannya lagi.
“Ya suadah jika itu maumu! Aku tak mampu menghalangi meski aku menyesali komitmen yang pernah kau cipta untuk meyakinkanku dan bertahan sejauh ini”. Itu SMS terakhirku. Ternyata, dia tak membalasnya segera. Tiga hari kemudian, dia baru membalas. “Maafkan Hanim, Pak! Maaf…, maaf….. Semua demi kebaikan kita”. Itu saja. Dan, itu sudah cukup jelas tentang semuanya. Berakhir!
Aku terjerembab. Oleng. Tak yakin akan semua yang terjadi. Aku tak tahu harus menyesal atau…? Andai aku mau mendengar keraguan dan kekhawatiran yang disampaikan teman-teman sejawatku, terutama Pak Lukman, tentu ini tak terjadi. Enam tahun adalah waktu yang panjang. Bahkan, Aldo, putra Pak Lukman, kini sudah duduk di bangku TK. Tapi, sudahlah!
Oktober 2005
Aku harus bangkit! Aku harus segera membuat keputusan atas pilihan-pilihan. Beberapa teman mengenalkanku dengan sosok lain. Sebagian menjodohkanku dengan teman sejawat di tempat kerja. Tapi, belum ada yang kupilih.
Agustus yang lalu aku berkenalan dengan seorang gadis saat penataran bidang studi di provinsi. Dia berasal dari sekolah yang sekota denganku. Tidak lama, hanya tiga hari. Sebuah perkenalan yang tidak terlalu istimewa. Tetapi, Allah memberiku keyakinan atas sebuah pilihan. Semoga bukan sebuah pelarian. Atau, karena terkejar oleh usia. Semoga ini jodoh yang dikirim Allah. Amin!
November 2005
Aku berlebaran di kampung halaman.
Tepat di Hari Pahlawan, kami menikah di Surabaya, kota asal gadis yang kusunting. Dia adalah gadis yang kukenal saat penataran itu.
“Selamat, ya!” Itu saja bunyi SMS Hanim ketika kuberitahu dan kuundang untuk hadir di resepsi pernikahanku.
Kurasa, jujur atau tidak, kekecewaanku yang ingin segera kukubur, ternyata masih bergelayut. Dari Mia, mantan muridku yang sekampus dengannya, kudengar Hanim telah menjalin kasih dengan mahasiswa teknik, di kampus yang sama. Dari Mia pula, kuterima kenyataan bahwa mahasiswa itu ternyata Ryvo, teman seangkatan Hanim, mantan muridku juga.


Sebuah ending perpisahan yang pernah kuprediksikan.

Bontang, 18 November 2005

Cerpen dua bagian, dimuat di:
Kaltim Post, Minggu, 21 Mei 2006
Kaltim Post, Minggu, 28 Mei 2006
Model: Nonik (G_Entertainment/Hakim collection)

Kamis, 03 Januari 2008

Seharusnya....

Tepat tanggal 27 Desember 2007, aku menerima surat dari Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat. Agak kaget juga. Sebab, seingatku, rasanya tidak pernah ada sesuatu yang membuatku dapat menerima surat dari universitas tersebut. Memang sih, bukan berarti tidak punya sejarah sama sekali dengannya, tapi tidak untuk saat ini.
Dulu, dulu sekali, sewaktu masih mahasiswa, tepatnya tahun 1994-an, memang saya pernah menjadi ketua studi banding mahasiswa IKIP Malang (universitas Negeri Malang) ke sana. Oleh karenanya, saya pernah berkunjung ke sana dua kali. Dan, sebelumnya tentu ada proses yang mekanismenya menggunakan surat.
Tapi... untuk saat ini? Ada apa? Sesaat itulah pikirku sebelum kemudian mengetahui isinya.
Ternyata, panggilan beasiswa pendidikan profesi selama setahun di kampus tersebut. Waduh, mimpi aja tidak. Jauh banget!
Panggilan tersebut merupakan jawaban dari aplikasi/formulir pendaftaran/seleksi penerimaan beasiswa pendidikan profesi bagi guru tahun 2008 yang telah saya kirim pada November 2007 ke Jakarta. Beasiswa tersebut diberikan kepada guru-guru berprestasi, baik prestasi tingkat daerah, terutama yang berskala nasional. Saya tidak menyangka, ternyata saya ditempatkan di sana. Sebelumnya, saya berharap bisa mengikuti program tersebut paling tidak di Malang, Surabaya, atau Jogja. Kebayangnya sih...bisa kuliah di Jakarta, tentu akan lebih sempurna. Sebab, saya punya rencana lain yang harus dikerjakan jika beasiswa tersebut di Jakarta. Ternyata...! Waduh, dua teman saya, 1 dari Balikpapan dan 1 dari Pasir, sama-sama kaget saat kutelepon. Apalagi ternyata, sayalah yang menerima surat duluan.
Ternyata pula (banyak ternyatanya neh...), karena ini proyek, tentu sudah ditentukan segala sesuatunya. Penerima beasiswa dari Kaltim, Kalsel, Jawa Timur, Bali, dan NTB, misalnya, dikonsentrasikan di Bali dan Lombok Mataram.
Andai bisa, mau nego agar bisa dipindah ke wilayah Jateng atau Jakarta. Tapi, serba keburu-buru. Kuliah perdana kini telah dimulai. Kami sudah konfirmasi, nggak masalah terlambat. Tapi..., ternyata sampai hari ini kami belum yakin juga.
Ngebayangin, Bontang-Balikpapan, Balikpapan-Surabaya, Surabaya-Bali, Bali-Lombok....
Meski di sisi lainnya, Lombok yang serupa Bali nan eksotis banget itu, juga membuatku ingin dan ingin lagi kesana. Tapi, ternyata, banyak pertimbangan sebelum aku ke sana. Mungkinkah ini peristiwa serupa ketiga yang bakal terulang kembali? (?????/ Tar kutulis sendiri di bagian lain...)
Andai masih ada alternatif......?????

Rabu, 02 Januari 2008

Realistis




...bahwa berbuat yang terbaik pada titik dimana aku berdiri, itulah sesungguhnya sikap yang realistis...Jika kuibaratkan semangat manusia adalah kurva, sebuah grafik, maka sikap optimis akan membawa kurva itu terus menanjak...


Andrea Hirata. Sang Pemimpi. Penerbit Bentang Yogyakarta. 2006: 208.

Selasa, 01 Januari 2008

Club Buku 33




Berkumpul sesama bookholic tentu menyenangkan. Apalagi di antara kami, tidak sekadar pembaca yang baik, tetapi juga terdapat penulis-penulis berbakat. Meski rata-rata usia kami tidak muda, tetapi semuanya semangat berkumpul untuk sekadar share tentang buku yang dibaca kemudian dibuat ulasannya sampai membahas karya teman yang telah disusun menjadi sebuah buku.
Pada Minggu, 1 Januari kemarin, sekitar pukul 10.00 (lewat.... mungkin sebagian masih kecapekan jelang tahun baru semalam, ada yang agak sakit, ada yang ngurus anak, ada yang belum sisiran, hehe....sapa hayo??), kami berkumpul di jalan Sedap Malam 14, di rumah Ibu Manik. Di antara kami ada Bapak Sunaryo Broto yang pernah menulis buku tentang Catatan Haji dan kemarin launching kumpulan puisi "Aku Ingin Hidup Lebih Lapang". Ada juga penulis buku "Cerita Hati", Bapak yang tulisannya juga banyak, yaitu Ezrinal Aziz. Juga ada beberapa teman yang hadir. Meski tidak banyak, tetapi tetap gayeng. Mulai membahas buku, diskusi kecil, sampai pembacaan puisi. Habis itu, biasa makan-makan, kenyang trus pulang, hehe...Dapat pincukan lagi. Tangkyu Bu Manik...
Berkumpul dengan mereka, di antara buku2 bagus yang berserak di sekeliling kami, sungguh menyenangkan. Di antara banyak hal, satu yang sangat penting buatku dan perlu saya teladani: semangat dan komitmen untuk terus menulis dan menulis. Padahal mereka adalah orang-orang sibuk. Salut!
Oh ya, selain mengupas karya Mr. Broto, kemarin Bu Manik meresensi tiga buku best seller karya Andrea Hirata, yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor.
Oh ya, bagi yang belum tahu, mengapa Club Buku 33? Sebenarnya dulu waktu dibentuk saya nggak datang karena saya salah baca undangan. Yang saya tahu, klub ini dinamakan begitu karena (bukan kebetulan) dibentuk di rumah dinas Mr Broto di jalan Kecubung 33, pada tanggal 3, dan bertepatan pula dengan bulan 3. Klop deh!
Semoga sukses milik kita, amiin!
Keterangan foto:
Suasana di rumah Bu Manik. Daku nggak keliatan karena aku yang jepret2. Jangan lupa aku dikirim hasil jepretan foto bersama ya..Tx.

Minka & Irfan, Duta Wisata Bontang 2007/2008

Setelah melewati seleksi yang ketat dan bersaing dengan lebih dari 130 peserta pada 19 Desember yang lalu, 20 peserta (10 putra dan 10 putri) berhasil menjadi finalis Duta Wisata Bontang tahun 2007/2008. Untuk menjadi 20 besar Duta Wisata tentu bukan hal yang mudah, mengingat even yang diadakan oleh Bidang Pariwisata, Seni, dan Budaya (Parsenibud) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bontang dengan didukung Asosiasi Duta Wisata Indonesia (Adwindo) Kota Bontang, Gemilang Entertainment, dan Kaltim Post tersebut diikuti peserta yang cukup banyak. Materi tes pada seleksi awal meliputi bahasa Inggris, wawasan Bontang, materi umum, catwalk, dan interview dengan psikolog.

Selanjutnya, pada 20-22 Desember, keduapuluh finalis, yaitu Minka Yakutlana (SMA YPVDP), Vidia Ayu Lestari (SMA YPK), Meiroza Susanti (SMA YPVDP), Lettya Latifah (SMA YPK), Meiya Syahrini (SMAN 2), Rizky Amalia Saputri (SMAN 1), Dewanty Anggraeini K. (SMA YPVDP), Lita Destyani Putri (SMAN 2), Angel Mitsy Tirayoh (SMA YPVDP), Betty Nora Iriani (SMAN 1), Nikolaust Eko W.R. (PNS), Ryan Rahardi (PNS), Noor Irfansyah (SMAN 1), Sofyan Fradenza Adi (SMAN 1), Savero Al Phard (SMA YPK), Charlen Joust Jerry Ganda (SMKN 1), Haritz Hashemi (SMA YPVDP), Sandy (SMAN 2), Dwi Meidika Saputra (SMA YPVDP), dan Apriadi Setyo Wahono (SMAN 3), mengikuti pembekalan dengan dikarantina di Hotel Bintang Sintuk.

Berbagai pembekalan diberikan oleh para instruktur berpengalaman, mulai dari materi tentang Bontang, tari daerah, catwalk, pemotretan, beauty class, teknik pengembangan diri, table manner, public speaking, tentang media massa dari Kaltim Post, bahasa Inggris, dan lain-lain.

Untuk meraih predikat terbaik, para finalis mulai bersaing saat karantina. Puncaknya adalah pada saat grandfinal, Minggu, 23 Desember 2007, di Gedung Perpustakaan Daerah Bontang. Dewan juri yang terdiri dari Trully Tisna Milasari, S,Psi. (pemerhati remaja, seni budaya), Abdul Hakim, S.Pd. (praktisi seni budaya, presenter), Zainu Wahid (ahli tata rias/HARPI), Syarifah Muslimah, S.Psi. (psikolog), Badax (sarjana fotografi/fotografer), dan Wiwit Widayatie, M.Pd. (master bahasa Inggris), sepakat memberikan gelar Duta Wisata Bontang 2007 kepada Noor Irfansyah dan Minka Yakutlana.

Ketua panitia, Abdul Hakim, mengucapkan terima kasih kepada Adwindo, Kaltim Post, Gemilang Entertainmen, Exell by Queen Salon yang menjadi sponsor busana untuk seluruh finalis putri sekaligus make up untuk 20 finalis, Seven Distro, Salon Foto, Yudhis Salon, Poppy Salon, dan Toko Anggun.

Berikut adalah daftar lengkap para juara Duta Wisata Bontang 2007/2008.

Juara 1 Putra DutaWisata: Noor Irfansyah
Juara 1 Putri Duta Wisata: Minka Yakutlana
Wakil 1 Putra: Savero Al Phard
Wakil 1 Putri: Vidia Ayu Lestari
Wakil 2 Putra: Nikolaust Eko W.R.
Wakil 2 Putri: Meiroza Susanti
Juara Atribut
Juara Talenta Putra: Ryan Rahardi
Juara Talenta Putri: Rizky Amalia
Juara Fotogenik Putra: Sofyan Fradenza
Juara Fotogenik Putri: Lettya Latifah
Juara Persahabatan Putra: Charlen Joust
Juara Persahabatan Putri: Lettya Latifah

Keterangan foto:
Minka Yakutlana dan Noor Irfansyah didampingi Asisten Walikota, Drs. H. Abdul Muis P. dan Kabid Parsenibud, Drs. H. Achmad Mardjuki, M.M.


Photo by Eend


Press Release by Hakim

Sumber: Kaltim Post, Sabtu, 29 Desember 2007.