Minggu, 06 Januari 2008

Batas Waktu Menunggu


Oleh: Abdul Hakim, S.Pd.


Semacam pengantar. Ini cerpen lama. Suatu saat (November 2007) pernah dibahas anak-anak di sekolah ketika materi analisis unsur intrinsik karya sastra. Sesekali, untuk seru-seruan sih, karya-karya yang dijadikan contoh atau dibahas adalah karya-karya saya, baik itu artikel, cerpen, puisi, mini film, atau hal lainnya. Selain itu, untuk memberi semangat juga bahwa guru yang sedang memberi pelajaran kepada mereka, meski belum mahir dan produktif, juga terus belajar berkarya. Dari pengalaman saya selama ini, lumayan seru juga karena konteks pembelajaran lebih dekat sengan mereka. Tidak selalu contoh-contoh yan tertera di buku atau kliping dari koran dan majalah. Sewaktu para siswa membaca cerpen ini, mereka sudah mulai kasak-kusuk, bisik-bisik, tersenyum-senyum kecil, sampai pada pertanyaan dan seloroh spontan, "Ini Bapak kan....? Iya kan...?" Saya hanya tersenyum. "Sudah, baca aja sampai selesai," pinta saya. "Pak..., ini bener Bapak kan...?" tanya beberapa anak dengan gemas. "Bukan, bukan saya. Ini kan hanya cerpen. Fiktif!" jawab saya tetap sambil senyum-senyum. "Ayo dikerjakan, tar waktunya habis lo..!" ujar saya lagi agar mereka kembali konsentrasi ke tugasnya. Ternyata, tanya mereka tak juga habis. Saat istirahat, besoknya, besoknya lagi, masih juga ada yang bertanya. Mereka penasaran. Saya jadi geli sendiri. Mereka sedang mencari "tersangka" dari tokoh yang dikenalinya lewat cerpen. Tapi, tetap, saya bilang itu bukan saya. Salah satu penjelasan yang logis adalah tentang keberadaan anak saya yang sekarang jelang tujuh tahun. Sementara konteks cerita akhir 2005-an si tokoh dalam cerpen baru married. Tapi, tetap aja ada yang bilang, "Alah......, bohong.......Bener, itu pasti Pak Hakim, kok! Nggak usah bohong, Pak...". Dan, saya hanya tersenyum-senyum lagi. Abisnya, dijelasin juga nggak percaya. Akhirnya, mereka semakin penasaran.

Cerpen ini dimuat (dua bagian) di Kaltim Post pada 21 dan 28 Mei 2006. Selamat membaca!

Namaku Dimas. Lengkapnya, Dimas Prasetya. Usiaku 27 tahun. Masih belum berkeluarga, bahkan masih jomblo. Seorang guru di sebuah yayasan terkenal. Kata teman-teman sesama guru, wajahku baby face, muda dan ganteng, masih layak memakai seragam putih abu-abu. Akan tetapi, mengapa aku tak kunjung memiliki pendamping hidup, atau minimal terlihat menggandeng seorang pacar. Aku hanya tersenyum-senyum saja jika mereka mengatakan hal itu.
Sepucuk surat mengagetkanku. Terselip di bawah buku, di atas meja kantorku. Setelah kutahu pengirimnya, aku mulai menerka-nerka apa isinya. Aku terhenyak tatkala kubaca bagian akhir surat itu, “Hanim menyayangi dan… Bapak”.
Surat itu ditulis Hanim, muridku kelas 3 di SMP tempatku mengajar. Hanim adalah sosok murid yang pintar. Bahkan, salah satu dari 3 siswa terpintar di kelas 3. Selain itu, dia tidak bertingkah seperti beberapa murid yang orang tuanya mempunyai jabatan penting di perusahaan yang menaungi yayasan atau sekolah kami.
Ketika kutunjukkan kepada Pak Lukman, teman sejawat sekaligus teman dekatku, kami membaca sambil terkekeh. Bagimana tidak, kami tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi. Meskipun, setiap hari Hanim menelepon ke rumah kontrakanku, dengan alasan utama berkonsultasi materi yang kuajarkan, dari nada bicaranya yang cenderung masih polos, aku dengan mudah menerka apa yang sebenarnya dimaui, yaitu perhatian lebih, tetap saja pernyataan dalam surat itu membuatku kaget.
Tiga hari setelah itu, saya bercerita tentang Hanim yang beberapa hari berikutnya selalu menanyakan apa jawabanku. Tiba-tiba kami, aku dan Pak Lukman, temanku yang juga masih bujang itu, membuat keputusan yang aneh kalau tidak bisa dikatakan konyol. Dengan dasar UAN (waktu itu Ebtanas) sudah sangat dekat, maka saya menerima cintanya. Sebuah pertimbangan yang serius tapi sederhana.
Seriusnya, dengan melihat keseriusan dia, saya takut andai ternyata aku membuat keputusan yang sebaliknya, maka akan membuatnya down dan merasa malu yang hebat. Ujung-ujungnya, saya khawatir kalau akan mempengaruhi hasil Ebtanasnya.
Sederhananya, Hanim itu masih anak-anak. Seperti yang saya pikirkan dengan Pak Lukman, secara kejiwaan atau pola pikir, seperti umumnya anak-anak seusianya, tentulah masih labil. Termasuk tentang pilihan yang belum lama ini dijatuhkan kepadaku. Pilihan yang menurutku hanyalah pilihan sesaat, cinta monyet, segera berubah dan hilang jika tertumpuk oleh pilihan-pilihan lainnya. Peristiwa itu kuanggap berlalu, tak perlu dipikirkan lagi.
“Pak, aku minta privat. Ebtanas sudah dekat,” katanya pada suatu malam, melalui telepon.
“Kan udah pintar!” godaku sambil tersenyum.
“Ehm…!” Kudengar suranya merajuk.
“Emang perlu?” tanyaku lagi.
“Ya, iyalah. Aku ingin menjadi yang terbaik!” ungkapnya semangat.
Begitulah, percakapan kami, semakin hari semakin sangat cair. Semakin hilang pembatas sebagai guru dan seorang murid. Gilanya, semakin hari rasanya aku semakin merasa nyaman berkomunikasi dengannya. Tetapi, yang membuat tidak nyaman adalah kalau sedang mengajar di kelasnya.
Akhirnya, seminggu dua kali aku mengajar privat di rumahnya. Salah satunya, hari Sabtu malam minggu, hari yang dipilihnya. Aku sih asyik-asyik saja, maklum karena tidak mempunyai gadis spesial selain kedekatanku dengan Hanim. Kulihat, Hanim selalu tampak ceria setiap kali aku datang. Mamanya juga menyambutku dengan hangat. Tentang ayahnya, dapat dihitung dengan jari aku bertemu dengannya. Itupun hanya saling sapa aja. Dia lebih banyak pergi dinas ke kantor pusat perusahaannya di Jakarta.
Juni 1999
Hebat! Hanim lulus dengan prestasi yang sangat bagus. Meskipun hanya menempati peringkat kedua di sekolah, tetapi dia tetap masuk sepuluh terbaik di tingkat provinsi. Kuberikan ucapan selamat saat sorenya dia meneleponku.
“Makasih!” ucapnya girang. “Itu juga berkat bimbingan Bapak. Tapi...”
“Kenapa?”
“Berarti tidak lama lagi aku harus pindah ke Bandung. Papa dan mama sangat berharap agar aku diterima di SMA 3”.
“Ya, baguslah. Itu sekolah favoritnya anak-anak pintar,” dukungku.
“Tapi, aku jadi ninggalin Bapak dong”.
“Ya, tidak apa-apalah. Setiap liburan kamu kan bisa pulang ke sini. Atau, saat saya cuti ke Jawa, kan bisa bertemu”.
Kudengar dia menangis. Aku merasa lucu juga, mengapa kami seperti sedang berpacaran begini. Padahal, tujuannya dulu kan sekadar menyelamatkan Ebtanas, bukankah itu sudah berhasil?
Juli 1999
Hanim mengadakan perpisahan dengan sahabat-sahabatnya dan beberapa guru, tentu termasuk aku. Acara yang diadakan malam hari di restoran apung, restoran yang didirikan dia atas laut itu, juga diikuti kedua orang tuanya. Di ujung acara, ketika menyampaikan sambutan perpisahan, dia terisak.
Esoknya, dia berangkat menuju kota kembang. Tentu saja dia ingin aku ikut mengantarnya ke bandara. Tetapi, aku merasa risih dengan orang tuanya. Toh, semalam sehabis acara, dia sudah meneleponku berjam-jam.
Agustus 1999
“Aku ingin pulang. Aku ingin sekolah di sana aja!” katanya menyentakku.
“Lo, jangan! Biasa kok, pertama-tama hampir semua orang yang berdomisili di tempat yang baru akan merasa tidak nyaman. Tetapi, semua akan berlalu seiring proses adaptasi. Dulu, sewaktu saya pertama menginjakkan kaki di Kalimantan, rasanya pengen segera balek ke Malang. Tapi, ternyata lama-lama kerasan juga kan?” jelasku meyakinkan.
“Nggak, pokoknya aku harus pindah. SMA di yayasan kita kan top juga. Aku sudah bilang mama, kok!”
“Lalu?”
Duh.., keras kepala juga anak ini! Dia mengatakan tidak bisa jauh dariku. Konyol juga. Padahal, meski tak menyangkal bahwa aku juga memikirkannya, tetapi aku memprediksi kalau suasana, tempat, dan teman-teman baru akan segera membuatnya berubah dan menemukan pilihan lain. Kemudian Hanim akan melupakanku, meski jujur barangkali aku tak berharap itu terjadi. Sekali lagi, sebuah pearasaan yang aku anggap masih aneh.
September 1999
Keputusan sudah bulat. Akhirnya, Hanim pindah ke SMA di yayasan tempatku mengajar. Aku tidak tahu, merasa bahagia atau apa. Yang pasti, ada yang menjalar damai di hatiku. Atas kepindahan itu, teman-teman sejawatku menggoda. Aku diam tak berkomentar, hanya senyum-senyum saja.
Hari-hari berikutnya, privat pun berjalan seperti waktu SMP dulu. Saat-saat itulah kebahagiaan seperti orang yang sedang berpacaran terasa. Tetapi, aku tetap menjaga semuanya. Bagaimanapun, aku seorang guru. Walaupun ibunya mengerti tentang semua ini, termasuk tentang alasan kepindahan anaknya.
Hal serupa berjalan terus-menerus. Sampai kemudian dia naik ke kelas dua dan tiga.
Menjelang kelulusan, keresahan yang dulu pernah terjadi, terulang kembali. Hanim bimbang.
“Untuk kali ini, tidak ada pilihan lain. Hanim harus pindah kuliah di PTN favorit di Jawa,” tegasku.
“Tapi…”
“Semua akan berjalan baik-baik saja. Malah, mungkin nanti kamu akan menemukan pilihan-pilihan baru yang lebih keren, pinter, dan tajir,” godaku.
“Nggak mau! Emang aku matre. Bapak harus janji akan menjaga semuanya seperti sekarang!” Ups! Aku tidak yakin dia tidak tergoyah oleh suasana baru. Walaupun dalam tiga tahun ini aku tahu keseriusannya mempertahankan pilihannya atasku.
“Pokoknya, Bapak harus janji akan menunggu saya lulus!” pintanya serius. Aku hanya mampu berucap ‘ya’ untuk menenangkannya.
Agustus 2002
Perpisahan tak terelakkan! Tangis pun kembali meledak. Kali ini, perasaan sedih juga sangat terasa menyesak dadaku. Tiga tahun tentu bukan waktu yang pendek. Jujur atau tidak, aku mulai terikat.
Hanim diterima di jurusan Kedokteran Umum di Unair Surabaya. Berita itu membuat sudut lain hatiku berujar, “Akan berapa lama aku menunggunya. Bukankah usiaku terus berjalan?”
September 2002
Kini usiaku menginjak 30 tahun. Usia yang sudah cukup matang dan mapan untuk berkeluarga. Memang belum berlebih, tetapi aku merasa tabunganku sudah cukup untuk hal itu.
Teman-teman seangkatanku sebagian besar telah menikah. Bahkan, rata-rata mereka telah mempunyai momongan, termasuk Pak Lukman. Padahal, usianya setahun lebih mudah dariku.
Akan tetapi, aku masih tetap bertahan pada satu keyakinan untuk menunggu tanpa batas waktu yang jelas. Tak jarang keraguan menyergap. Kuhitung-hitung, jika Hanim dapat menyelesaikan kuliah dalam waktu lima tahun, saat itu usiaku akan memasuki 35 tahun. Jika selesai dalam tempo enam tahun? Tentu 36 tahun bukanlah usia yang muda.
Sebuah dilema. Padahal, aku sadar jika nanti tiba-tiba Hanim berubah pikiran dan komitmen, maka penantianku hanyalah kesia-siaan. Akan tetapi, Hanim selalu membuatku yakin. Baik melalui telepon, SMS, email, atau saat bertemu, yaitu saat dia berlibur atau aku yang cuti ke Jawa, dia selalu mengatakan akan memegang komitmennya.
Mei 2005
Sebuah perjalanan panjang. Hubungan kami memasuki tahun keenam. Usiaku menginjak 33 tahun. Keraguan semakin menyergap. Meski terus berlanjut, tetapi kurasakan akhir-akhir ini komunikasi kami tak lagi seperti biasa. Salah satu alasan yang dapat kuterima, katanya dia semakin disibukkan dengan berbagai praktikum.
Bahkan, pada Juni 2005 nanti dia berencana tidak berlibur. Katanya lagi, ada tugas yang harus diselesaikan. Untungnya, aku berencana cuti ke Malang. Jadi, aku dapat menemuinya di Surabaya.
Juni 2005
Sebuah pertemuan yang berbeda. Dari cara dia menyambutku, berbicara, dan menatapku, aku merasa ada banyak hal yang berubah.
“Kalau Bapak bertanya tentang komitmen, terus terang saat ini aku tidak bisa menjawab. Aku belum tahu pasti berapa lama lagi aku lulus S1. Terlebih, papa minta aku mengambil spesialis,” ujarnya. Tak kutemukan akspresi penuh seperti dulu, ekspresi yang selama ini membuatku bertahan.
“Kenapa baru sekarang. Bukankah kemungkinan itu sudah pernah kita bahas. Bukankah kamu pula yang mengatakan, andai nanti ambil spesialis tentu sehabis menikah,” ingatku.
“Proses hidup terus berubah,” jawabnya sesaat setelah berpikir. “Aku tidak menginginkannya karena aku juga tak memahami sebelumnya. Tetapi, nyatanya ya seperti sekarang ini. Aku takut, jika aku berkomitmen lebih, nanti aku tak dapat menepatinya,” ujarnya mencoba berfalsafah, tapi kudengar aneh. Pernyataan yang tak memuaskanku. “Kau bukan Hanim yang dulu,” pikirku dalam hati.
“Artinya?” tanyaku meski sebenarnya sudah jelas. Hanim hanya terdiam.
Juli 2005
Aku telah kembali bekerja. SMS Hanim tadi malam semakin meyakinkanku akan komitmen yang berubah. Tak ada bahasa verbal melalui ucapan, tak ada kata-kata jelas dan konkret tentang sebuah keputusan. Akan tetapi, aku teramat dewasa untuk menerjemahkannya bahwa dia tidak menginginkannya lagi.
“Ya suadah jika itu maumu! Aku tak mampu menghalangi meski aku menyesali komitmen yang pernah kau cipta untuk meyakinkanku dan bertahan sejauh ini”. Itu SMS terakhirku. Ternyata, dia tak membalasnya segera. Tiga hari kemudian, dia baru membalas. “Maafkan Hanim, Pak! Maaf…, maaf….. Semua demi kebaikan kita”. Itu saja. Dan, itu sudah cukup jelas tentang semuanya. Berakhir!
Aku terjerembab. Oleng. Tak yakin akan semua yang terjadi. Aku tak tahu harus menyesal atau…? Andai aku mau mendengar keraguan dan kekhawatiran yang disampaikan teman-teman sejawatku, terutama Pak Lukman, tentu ini tak terjadi. Enam tahun adalah waktu yang panjang. Bahkan, Aldo, putra Pak Lukman, kini sudah duduk di bangku TK. Tapi, sudahlah!
Oktober 2005
Aku harus bangkit! Aku harus segera membuat keputusan atas pilihan-pilihan. Beberapa teman mengenalkanku dengan sosok lain. Sebagian menjodohkanku dengan teman sejawat di tempat kerja. Tapi, belum ada yang kupilih.
Agustus yang lalu aku berkenalan dengan seorang gadis saat penataran bidang studi di provinsi. Dia berasal dari sekolah yang sekota denganku. Tidak lama, hanya tiga hari. Sebuah perkenalan yang tidak terlalu istimewa. Tetapi, Allah memberiku keyakinan atas sebuah pilihan. Semoga bukan sebuah pelarian. Atau, karena terkejar oleh usia. Semoga ini jodoh yang dikirim Allah. Amin!
November 2005
Aku berlebaran di kampung halaman.
Tepat di Hari Pahlawan, kami menikah di Surabaya, kota asal gadis yang kusunting. Dia adalah gadis yang kukenal saat penataran itu.
“Selamat, ya!” Itu saja bunyi SMS Hanim ketika kuberitahu dan kuundang untuk hadir di resepsi pernikahanku.
Kurasa, jujur atau tidak, kekecewaanku yang ingin segera kukubur, ternyata masih bergelayut. Dari Mia, mantan muridku yang sekampus dengannya, kudengar Hanim telah menjalin kasih dengan mahasiswa teknik, di kampus yang sama. Dari Mia pula, kuterima kenyataan bahwa mahasiswa itu ternyata Ryvo, teman seangkatan Hanim, mantan muridku juga.


Sebuah ending perpisahan yang pernah kuprediksikan.

Bontang, 18 November 2005

Cerpen dua bagian, dimuat di:
Kaltim Post, Minggu, 21 Mei 2006
Kaltim Post, Minggu, 28 Mei 2006
Model: Nonik (G_Entertainment/Hakim collection)

Tidak ada komentar: