Jumat, 09 Mei 2008

Banjir Kissing di Film Indonesia: "Kan Enak Ciuman dapat Duit"

Dunia perfilman Indonesia layak bersyukur karena pada dua tahun terakhir ini secara kuantitas mengalami kemajuan. Animo masyarakat untuk menonton dan mengapresiasinya juga cukup lumayan. Sayangnya, secara kulaitas, umumnya film-film yang diproduksi para sinemaker tidak begitu baik. Meski ada beberapa yang berkulaitas, tetapi jumlahnya relatif sedikit.

Persoalannya juga cenderung klasik kalau tidak bisa dikatakan "basi". Mulai dari kebiasaan "latah" alias mengekor kesuksesan film sebelumnya, tidak berkualitasnya skenario, pemilihan peran, sinematografi, dll. Oleh karena kelatahan tersebut maka terjadilah musim film bergenre tertentu. Yang paling tentu film dengan genre "syetan atau hantu yang tidak jelas" dan yang kedua genre remaja. Akhir-akhir ini, ada genre baru, meski belum booming, yaitu film bergenre komedi esek-esek.

Tentang film hantu-hantuan yang tak jarang "garing" dan cenderung aneh dan dipaksakan, tak perlu menonton, membaca dan melihat resensinya di infotainment rasanya sudah sangat membosankan. Akan tetapi, film tersebut tetap juga ada sampai sekarang, meski tidak semarak beberapa waktu yang lalu. Itu sebagai bukti bahwa memang masih ada penontonnya. Tetapi, berkurangnya film bergenre ini tentu sebagai bukti bahwa para penonton sudah bosan.

Film remaja dan komedi "esek-esek" (meski nggak yang gimana banget seh...Nama tersebut sekadar sebagai pembeda dari jenis sebelumnya, seperti film remaja pada umumnya) semakin hari semakin "panas". Adegan kissing seakan menjadi syarat wajib kehadirannya. Padahal, pa memang penonton menuntut hal itu? Menurut saya, skenario yang baik dan teknik sinematografi yang mendukung cukup memuaskan penonton. Banyak film atanpa adegan seperti itu tetapi sukses. Sebut saja film Get Married dan Ayat-Ayat Cinta sebagai contohnya.

Dan, betapa kita jadi risih melihat pernyataan para pelaku film (aktor dan aktris) yang mencoba mencari alasan agar masyarakat bisa mengerti dan menerima adegan-adegan semacam itu sebagai sebuah kewajaran, tuntutan profesionalisme, seiring kemajuan zaman dan seterusnya. Menurut saya, statemen-statemen mereka sekadar menyelamatkan diri dari penghakiman masyarakat bahwa sebenarnya hal tersebut tak seharusnya dan tak perlu dilakukan.

Anda yang sempat menonton infotainment, tentu tak perlu saya informasikan bagaimana cara Bunga Citra Lestari, Dewi Persik, dan beberapa aktor-aktris lainnya berdalih. Cenderung basi memang, "Saya berlaku profesional", "Itu tuntutan skenario", "Yang di film itu kan bukan saya", "Waduh, hal seperti itu kan sekrang ini bukan sesuatu yang gimana. Biasalah...!", dan berbagai statemen-statemen penyelamatan yang kurang logis dan mencoba mempersuasi masyarakat untuk menerima hal tersebut. Cukup kalian ajalah, jangan ngajak-ngajak masyarakat umum untuk berlaku sama.

Mending yang gentel saja, berani melakukan berani menerima plat "hitam". Lihat apa yang dikatakan Andhika, pasangan main BCL dalam film Ada Kamu, Aku Ada, dengan tertawa dia bilang, "Kan enak ciuman dapat uang!" Dan, menurut saya, itu lebih fair dan bertanggung jawab.

Ayo, maju film Indonesia. Beri pesan-pesan dan motivasi positif yang membangun untuk masyarakat yang secara moral sudah mulai ngos-ngosan ini. jangan jejali dengan adegan-adegan seronok, pakaian yang terbuka dan cenderung compang-camping seperti zaman dulu ketika masyarakat masih kesulitan secara ekonomi untuk membeli kain yang cukup untuk membuat baju yang tertutup. Malu dikit dong...!

Abdul Hakim

1 komentar:

Sambuaga mengatakan...

Mantap film Indonesia, maju terus...