Jumat, 10 Oktober 2008

Film Laskar Pelangi: Oneng & Lukman Sardi Kurang Pas...



Tiga hari setelah lebaran, aku memenuhi janji anakku untuk menonton Film Laskar pelangi di SCP samarinda. Antri bbuuuk...! Beli siang untuk malam, tiket ludes. Pas kami membeli, pas juga tinggal tiga tempat duduk, paling depan, tapi ya udah dariapada harus menunggu yang pukul 21.30 atau esok harinya, ya udah sikaaat!

Agar tidak kecewa, meski saya telah membaca buku Laskar Pelangi dan tetraloginya (Sang Pemimpi dan Edensor), saya sudah bersiap menjadikan film Laskar pelangi sebagai karya yang berdiri sendiri, meski tidak lepas dari versi bukunya (ya..pasti, jangan sampai!) Penonton sering komplain, mengapa versi film tidak sedetil versi buku. Ya iyalah, film hanya sekitar 90 menit, sedangkan versi buku ceritanya sangat panjang dan kompleks. Kalau difilmkan utuh bakal menjadi berjam-jam, meski saya juga berharap, versi film seharusnya bisa memotret substansi buku. Ingat, pas Ayat-Ayat Cinta difilmkan, selain banyak yang puas, juga tak sedikit yang merasa kecewa.

Jauh sebelum menonton, saya sudah baca berbagai komentar pembaca buku Laskar Pelangi, di situs-situs atau komentar para blogger. Pro-kontra pasti terjadi, ada yang berharap bisa difilmkan agar imajinasi pembaca bisa divisualkan. Sebaliknya, ada yang tidak berharap film dibuat dengan alasan seringkali film mengacaukan imajinasi pembaca. Buku dianggap lebih bagus. Apalagi buku sekelas Laskar pelangi sudah begitu membumi. Selain itu, pro-kontra terjadi jika dikaitkan dengan casting pemainnya. Untuk yang satu ini, saya juga kadang was-was, jangan-jangan sutradara tidak mendapat pemeran yang pas.

Sebagai penonton, seperti orang pada umumnya, saya juga merasa gimana gitu, ketika mengetahui kalau beberapa 'artis dengan cap di jidat' ikut andil. Contohnya, Tora Sudiro dan Rieke Dyah Pitaloka. Jangankan mereka, beberapa aktor-aktris juga diragukan sebelumnya, seperti Cut Mini dan Lukman sardi.

Secara umum film Laskar pelangi sangat bagus. Yang paling menonjol adalah kemampuan sepuluh aktor lokal anggota Laskar Pelangi. Kemampuan akting mereka tampak natural dan sesuai dengan karakter yang dimaui dalam skenario. Terutama tiga diantaranya, yaitu pemeran Ikal, Lintang, dan Harun, keren banget. Bukan berarti yang tujuh tidak bagus, sangat bagus juga, hanya karena yang tiga perannya lebih banyak dan menonjol, jadi lebih terlihat.

Setingnya bagus. Sentuhan bahasa dan budaya lokal juga sangat mendukung pencitraan film ini. Secara umum, melihat film LP saya yakin merupakan buah kerja yang luar biasa. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang semestinya dipertimbangkan lebih dalam sebelum film diproduksi.

Seperti juga keraguan banyak orang, meski aktor-aktris yang membintangi LP sebagian besar sudah mempunyai jam terbang tinggi di sinetron atau film, tetapi sebagaian di antaranya menurut saya 'mengecewakan' dan benar 'mengaduk-aduk imajinasi' yang telah agak mapan.

Meski saya juga yakin, Mira Lesmana dan Riri Reza telah berusaha meng-casting pemain dengan sungguh-sungguh, tetapi terutama kehadiran beberapa pemain, seperti Rieke Dyah Pitaloka (sebagai Ibu Ikal) dan Lukman Sardi (Ikal dewasa), terasa kurang pas, tepatnya 'agak dipaksakan'. Bukannya Rieke tidak berusaha bermain secara bagus, tetapi meski hanya muncul sekitar tiga scene dan itupun tidak panjang, tetapi figur Oneng terasa begitu dekat. Jadi, pas dia muncul, apalagi di bagian-bagian pertama, tanpa dikomando, saat saya menonton, langsung koor: "Oneng.....!" Wadduh, parrah...! Ibu Ikal yang ditunggu jadi buyar. Idealnya untuk film dengan background buku yang begitu dikenal masyarakat, akan lebih aman, jika pemainnya dipilihkan dari pemain-pemain yang tidak begitu 'pasaran' (=sering muncul di televisi atau film). Bila perlu, diambil pemain baru, saya pikir talenta-talenta baru di Indonesia begitu banyak, terbukti pada sepuluh anak LP kan? Apalagi untuk peran kecil, sepertinya Oneng nggak perlu hadir deh.

Untuk Lukman Sardi...??? Ini juga menurut saya bermasalah, kurang, pasnya sih 'tidak cocok'. Sebagai pemain watak, akting Lukman sama sekali bukan dalam ketegori jelek, tetapi nggak pas. Pasalnya, secara figur (fisik) dan karakter tidak pas. Membayangkan Andrea Hirata dan Lukman Sardi serasa bumi dan langit (agak lebay ya.., hehe...). Memang tidak harus sama persis, tapi juga jangan terlalu jauh. Zulfani (Ikal kecil) menurut saya pas sekali: ikal, kalem, friendly, agak chubby, polos tetapi tampak smart. Yang menonjol adalah kalem. Saya membayangkan, itulah Ikal. Menurut saya, sosok dan karakter itu jauh sekali dari Lukman Sardi yang karakternya tampak keras, tidak friendly,terlalu tirus. Singkatnya, ya nggak cocok. Coba Anda cermati! Sayang sekali, padahal Ikal (dewasa) adalah salah satu tokoh sentral. Bahkan menjadi bagian frame penting bagi film ini karena dia muncul di awal dan akhir: pembuka dan ending cerita, sebab film dibuat flash back.

Sedangkan, Cut Mini yang semula juga banyak dipertanyakan oleh pecinta novel LP untuk memerankan Ibu Muslimah, guru yang lembut, sabar, motivator hebat, dan selalu tersenyum, ternyata benar-benar lebur dalam diri Cut Minin. Acung jempol buat dia. bagus banget.

Satu lagi yang semula banyak diperdebatkan oleh para blogger pemerhati LP, yaitu kehadiran Tora Sudiro sebagai guru di sekolah PN Timah. Sosok yang diperankan adalah peran serius, maksudnya bukan komedi. Mengapa diragukan? Sebab, sampai film ini dibuat dan ditayangkan, sosok Tora begitu lekat dengan kekonyolan dalam berperan. Maklumlah, setelah berperan cukup bagus dalam film pertamanya, Arisan besutan Nia Dinata, dan film Banyu Biru yang dibintanginya bersama Dian sastro, kebanyakan peran Tora di film komedi. Alasan paling kuat atas stigma masyarakat bahwa Tora adalah aktor komedi karena keterlibatannya dalam Extravaganza yang identik dengan banyolan dan kebanci-bancian (sinden gosip). Apalagi bersamaan dengan tayangnya LP, film komedi yang dibintangi Tora, Tukul, Luna maya, dan Ria Irawan sedang akan tayang, jadi muncul di promo film sebelum LP tayang, yakni film berjudul Cinlok. Sama seperti Lukman sardi dan Rieke Oneng, bukannya tidak bisa, tetapi pencitraan 'konyol' yang sudah terlanjur menempel buat Tora layak membuat masyarakat ragu. Meski saya juga sepakat, aktor yang baik adalah yang dapat memerankan berbagai peran, tetapi khusus film-film serupa LP, sutradara harus lebih jeli dan mempertimbangkan 'kedekatan' tokoh dan cerita sebaik mungkin.

Akan tetapi, keraguan masyarakat tidak benar-benar terbukti karena Tora benar-benar berusaha membawa dirinya menjadi seorang guru. Tampak sekali Tora berusaha. Meskipun demikian, memang di bagian-bagian awal kemunculannya, saya yakin kebanyakan penonton bergelut dengan skematanya, ini Tora yang di Extravaganza atau guru PN Timah, atau setengahnya? Menurut saya sendiri, jawabannya ya 'setengahnya', lebih dikitlah, sekitar 70%. sedangkan, 30%-nya kurang sempurna. Artinya, Tora tidak gagal membawa peran guru SD PN Timah.

Selebihnya, sebagai sebuah film karya anak bangsa ini, LP patut ditonton oleh semua lapisan masyarakat, lintas usia, lintas agama, lintas profesi. Bahkan, menurut saya, LP layak diikutkan dalam festival film di dunia internasional.

Sebagai sebuah buku yang bercerita tentang usaha yang sungguh-sungguh dalam mendapatkan pendidikan dan menggelutinya dengan luar biasa meski keadaan begitu menghimpit, film LP bisa menjadi motivator yanga luar biasa pula.

Bersambung

Tidak ada komentar: