Jumat, 31 Oktober 2008

Setelah Nonton Laskar Pelangi, "Aku Ingin Jadi Lintang" (Bagian 2)




Ini salah satu cerita setelah kami sekeluarga menonton film Laskar Pelangi (baca juga opini saya berjudul 'Film Laskar Pelangi: Oneng dan Lukman Sardi Kurang Pas...).

Salah satu dorongan yang paling kuat buat kami, saya dan istri, adalah mengajak anak kami, Efro, untuk menonton Laskar Pelangi kalau sudah tayang. Tentu hal tersebut karena kami berdua telah membaca novel tetralogi karya Andrea Hirata (LP, Sang Pemimpi, dan Edensor), jauh-jauh hari. Menurut kami, ketiga novel tersebut syarat dengan muatan motivasi dan edukasi.

Sepanjang film ditayangkan, anak kami bertanya-tanya tentang adegan demi adegan yang ada di film. Tak jarang kami juga membisikkan sesuatu ketika ada momen yang bagus dan layak diambil hikmanya. Selain larut dalam adegan demi adegan yang mengharu biru, tak jarang dia tertawa ngakak melihat adegan-adegan lucu dari sepuluh laskar pelangi, terutama Mahar, seniman kecil berbakat yang lucu.

Dan benar saja, ketika keluar dari gedung film, bahkan ketika kami tanya beberapa hari berikutnya, dia menjawab, "Aku mau jadi Lintang". "Lintang aja?" tanya kami. "Sama yang suka nabuh gendang dan nyanyi, siapa Pa namanya?" "Oh..., Mahar'" "Ya," jawabnya mantap.

Kami pun bersyukur banget, ternyata tidak sekadar refreshing, tetapi dengan menonton film LP, ada yang membekas di hati anak kami, yaitu tertular semangan Lintang, si bocah pintar, jagoan SD Muhammadiyah Gantong. Dia cerdas. Usahanya luar biasa untuk bisa sekolah. Mengayuh sepeda puluhan kilometer, bahkan melewati rawa yang bersemayam buaya besar di sana, tak jarang melintang di jalan setapak yang dilewatinya, Lintang tetap semangat demi mendapatkan pengetahuan. Cita-citanya besar. Dia juga yang menjadi pahlawan ketika memenangkan lomba cerdas cermat. Tak tanggung-tanggung, yang dikalahkannya adalah sebuah sekolah terkenal yang dikelola secara mapan oleh PN Timah Belitong.

Tetapi, keberhasilannya, keberhasilan SD reot dengan sepuluh murid, menjadi akhir kisah dan mengubur cita-cita Lintang. Ayahnya yang seorang nelayan, tak kembali lagi (meninggal) saat sedang mencari ikan di laut. Bapaknya seorang nelayan, sedang ibunya sudah meninggal. Peristiwa tersebut menjadi pukulan dahsyat buat anak kecil yang belum lulus SD. Keputusannya untuk tidak lagi bersekolah membuat Bu Mus dan sembilan laskar pelangi lainnya menangisi, menyesali, teramat dalam. Terutama buat Ikal, kepergian Lintang begitu menjadi pukulan hebat. Dia tak kuasa menahan tangis dan mengejar Lintang tantkala dengan bergegas, seusai berpamitan, Lintang mengayuh sepeda dengan cepat. Dan, Lintang pun lagi menoleh ke belakang.

Dalam buku LP, oleh Andrea (Ikal), Lintang digambarkan sebagai sosok jenius yang luar biasa. Kecerdasannya adalah tempahan alam yang penuh dengan segala keterbatasan. Buat Andra, Lintang adalah inspirator sekaligus motivator hebat. Buat Lintang pula, salah satu yang terpenting, ia dedikasikan seluruh usahanya untuk menempuh pendidikan di Universitas Indonesia, bahkan kemudian master di Universitas Sorbone Perancis.

Oleh karena itu, mumpung film Laskar Pelangi masih tayang, para orang tua yang berkesempatan agar mengajak putra-putrinya untuk menonton film ini.

Sekadar informasi, pada hari keepuluh, mulai tayang 25 September, LP ditonton sekitar 1,1 juta orang. Padahal, sampai hari ini, 31 Oktober, LP masih tayang. Bahkan, di Yogya (Amplas=Ambarukmo Plasa), dengan jadwal tayang sebanyak lima kali, antrian masih panjang. Untuk menonton malam, penonton harus antri siang. Itupun terkadang penonton harus pulang dengan kecewa karena tidak mendapat tiket, meski untuk jadwal 21.30, mengingat sampai hari ini masih banyak sekolah atau instansi yang membooking studio untuk nonton bersama.

Artinya, kalau sepuluh hari pertama sebanyak 1,1 juta, lalu pada 31 Oktober jumlahnya berapa? Seminggu ke depan, dua mingu...?

Selamat menonton, semoga terinspirasi dan termotivasi, amin!

Bersambung

Tidak ada komentar: