Jumat, 10 Oktober 2008

Psikolog Tak Terdaftar

Rasa-rasanya, setelah kurunut-runut, dari dulu sampai sekarang, saya sering banget menjadi TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Semacam tempat pembuangan sampah, tetapi yang ini sampahnya beda. Bukan sampah plastik, dedaunan, sisa makanan, kotoran atau yang sejenisnya. Sampahnya adalah tumpukan berbagai jenis masalah. Berasa jadi psikolog begitu, tetapi tidak pernah terdaftar, kasihan!

Nggak tau juga seh, bagaiaman teman-teman dan anak buahku jadi percaya banget dan menaruh harapan kepadaku untuk menyelesaikan segala macam, ketet (no tetek) bengek permaaslahannya. Mungkin, wajahku cocok jadi tempat ‘pembuangan’. Nggaklah..! Saya yakin ada aura dan energi positif (ciehh…) yang nempel di jidatku sehingga mereka bisa percaya sama aku.

Memang seh, percaya atau tidak, aku seneng banget, empatif, dan care terhadap berbagai masalah yang dihadapi temen (GR! Tapi, logis kan, bagaimana mereka mau share kalau aku nggak gitu, ya kan….. ‘Maksa ya, haha…’).

Satu lagi, aku selalu memegang teguh janji untuk tidak ‘ember’ alias ‘bocor’. Aku selalu komit untuk menyimpan segala macam permasalah hanya untuk diriku sendiri. Pengeceualian, problem mereka sesekali saya ungkap sebagai contoh atau ilustrasi kepada orang lain jika mengahadapi persoalan serupa atau jika aku ingin orang lain tidak melakukan hal serupa. Tetapi, tentu untuk hal-hal tertentu saja dan pastikan tanpa menyebutkan identitas, sebut saja itu pengalaman yang pernah kudengar atau kubaca dimana gitu…

Masih keinget deh zaman kuliah dulu (tahun 92-96), begitu banyaknya temen yang numpahin masalah ke aku. Sampe-sampe pas lagi belajar di kelas pun teman-teman malah nggak dengerin kuliah, malah curhat abisss. Penah suatu ketika, aku duduk di belakang, di sebelahku duduklah sorang temenku yang lagi punya masalah. Bisa-bisanya dia curhat sambil menumpahkan air matanya, sesenggukan. Wadduh, takut juga she dilihat ama dosen. Tapi, alhamdulilah, nggak pernah kejadian dicurhatin temen trus ketahuan dosesn, hehe… Maunya seh, pas kelar kuliah gitu, tapi kadang temen dah kagak nahan untuk mengungkap tabir rahasia diri.

Kejadian serupa masih juga berlanjut sampai saat ini, beberapa temen di kantor, para siswa, oratu siswa, anggotaku di Adwindo (Asosiasi Duta Wisata Indonesia) Bontang, temen-teman organisasi, temen-temen beraktivitas, dan lain-lain, masih juga suka curhat sama aku. Dari biasa-biasa saja, sampai yang paling ‘serem’ sekalipun bisa terungkap! Tak jarang aku shock mendengarnya, tetapi harus tetep tenang alias cool abiss..

Beberapa hari selepas lebaran, problem besar harus kutangani. Aku juga sampai merasa ekstra menyelesaikannya, berhari-hari. Sampai ini kutulis, juga belum kelar..Problem rumah tangga pasangan muda. Bbee.... ampuunnn! Tapi, dengan usaha keras, masalah klien yang udah kuanggap sebagai adek sejak lama ini harus segera kelar. Sebab, lelaki keren yang berstatus sebagi ayah dari satua anak berusia belum genap setahun ini terlihat stress banget. Kesian dia!

Dia berusaha banget menyelesaikan masalah, tetapi sang istri yang dari keseluruhan cerita aku simpulkan sebagai sumber masalah malah sama sekali nggak ngrasa punya masalah. Saya jadi tau banyak karena, saya baca semua sms yang dikirim maupun balasan dari sang istri,. Wadduh, nih istri keras kepala dan nggak dewasa banget. Padahal dia lebih tua, 27=23. Mestinya dia lebih dewasa, tapi malah kekanak-kanakan.

Demi kebaikan, si klien saya minta untuk cooling down sebelum membuat keputusan. Istrinya minta berpisah, berulang-ulang. Sebenernya si klien sudah kagak nahan juga dan pengen pisah, tapi dia kepikiran nasib sang anak. Makanya, meski dia korban kekerasan rumah tangga (ssst…istrinya suka main pukul—pake tangan or kayu--, main cakar, seperti kucing garong ya…), karena dia masih ingin mencoba sekali lagi, dengan terpaksa dia mengajak istrinya saling instropeksi, tapi lagi-lagi istrinya selalu merasa benar dan menyalahkan si klien. Susahnya lagi, si istri nggak mau diajak balek ke rumah kontrakan. Dia memilih tinggal di rumah kakaknya. Ortunya yang tinggal jauh, aakhirnya datang juga ke rumah sang kakak.

Masalah semakin runyam karena si mami malah ikut-ikut nyalahin klien. Maklum, dia hanya dengar masalah dari satu pihak. Ketika klien mencoba menjelaskannya melalui balasan sms dan telepon langsung, si mami sepertinya dah nggak percaya lagi sama si klien. Sshhhh…………..

Si klien semakin hancur! Dia nggak mau ke rumah kakak ipar karena kondisinya tidak kondusif! Sementara itu, si istri selalu bilang ingin berpisah.. Saya selalu bilang agar si klien berusaha secara maksimal, jika ntar ternyata tetap mental, berarti Tuhan berbencana lain. Saya yakinkan, bahwa jika kita sudah berusaha maksimal, tapi ternyata jawaban Tuhan sebaliknya darii yang kita upayakan, yakinlah Tuhan akan menunjukkan horizon yang lebih luas, lebih cerah, lebih indah untuk kita. Sekarang kami masih berusaha. Doain hal terbaik menjadi solusinya, bersatu maupun berpisah. Si klien sudah siap, meski juga ragu..Tapi saya bilang, dari kondisi yang ada, meski tetap berusaha, anggap aja semua sudah berakhir (agar dia bersiap kalau finally ternyata harus berpisah). Jika ntar bisa dicari solusi terbaik dan bisa bersatu lagi, anggap itu bonus semata. Bonus? Ya iyalah.. Ketika kenyataan sudah mengatakan tidak mungkin, lalu tiba-tiba ada solusi untuk bersatu, ya namanya bonus. Bukan begitu? Bukaannnnn............. (Kayaknya bersambung neh!).

Tidak ada komentar: